Kekhawatiran akan adanya black campaign (kampanye hitam) yang menyasar isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) di Pilpres mendatang, masih menjadi momok menakutkan yang akan mencederai demokrasi Indonesia.
Makanya, pengamat politik dari Universitas Al-Azhar, Ujang Komarudin mengimbau kepada paslon kandidat yang maju di Pilpres 2019 agar menyudahi kampanye menggunakan isu SARA, terutama isu agama. Langkah ini menjadi penting agar umat beragama tidak terpecah.
"Tak boleh ada lagi kampanye berdasarkan SARA. Stop! Mari bangun demokrasi dengan cara menjual visi, misi dan program capres dan cawapres," kata Ujang kepada era.id, di Jakarta, Jumat (10/8/2019).
(Infografis/era.id)
Meski begitu, kata Ujang, di dalam berpolitik perlu tuntunan agama untuk menghindar para politikus dari sikap curang dan menghalalkan segala cara.
"Politik butuh tuntunan agama, agar politik tidak saling memangsa, agar politik menggunakan etika, agar berpolitik dilakukan dengan riang gembira," kata dia.
Politisasi agama laris manis
Media Survei Nasional (Median) merilis hasil survei peta kompetisi jelang Pilpres 2019. Survei mengambil sebanyak 1.200 responden dengan menggunakan teknik random sampling dan I sebesar 2,9 persen.
Baca Juga : Alasan Prabowo Maju Nyapres Meski Pernah Gagal 2 Kali
Direktur Riset Median Sudarto memaparkan, sebanyak 43,8 persen dari masyarakat Indonesia menjadikan agama sebagai identitas paling kuat dalam berpolitik menjelang Pemilu Presiden 2019.
Setelah agama, identitas yang dimunculkan adalah kesukuan sebanyak 23,4 persen; lalu identitas nasional 22,1 persen; kemudian identitas regional 9,3 persen; serta identitas lainnya, 1,5 persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa publik lebih suka urusan agama dan politik tidak dipisahkan.
(Infografis/era.id)
"Identitas agama wajib diperhatikan oleh capres-capres yang akan bertarung pada pemilihan presiden, jika ingin meraih suara dari publik," ujar Sudarto di Cikini, Jakarta Pusat, Senin (23/7).
Lanjutnya, sebanyak 43,3 persen publik menginginkan agar politik dan agama tidak dipisahkan. Kemudian, publik yang mau politik dan agama dipisahkan sebesar 33,9 persen, Sedangkan yang tidak menjawab sebesar 22,8 persen.