ERA.id - Sejarah Pura Mangkunegaran diawali dengan akhir dari Kesultanan Mataram Jawa hingga berdirinya Istana Mangkunegaran di Solo Jawa Tengah. Tempat tersebut sekaligus menjadi sebuah representasi indah dari keberanian Jawa dan tekad melawan ketidakadilan, penindasan dan kolonialisme.
Istana ini dikenal sebagai puri atau pura (diucapkan sebagai "puro" dalam bahasa Jawa) dan bukan sebuah "Keraton" karena secara politik tempat itu bukan rumah penguasa, tetapi merupakan kadipaten atau distrik independen.
Oleh karena itu Pura Mangkunegaran memiliki karakteristik yang sedikit berbeda dibandingkan dengan keraton Jawa lainnya. Mangkunegaran, terutama dibedakan dengan tidak adanya alun-alun dengan sepasang pohon beringin klasik seperti yang biasa ditemukan di kota-kota utama Jawa.
DIlansir dari Java Heritage Tour, kekuasaan Mangkunegaran di Surakarta lahir melalui proses sejarah yang panjang, pahit, dan rumit. Benih pendiriannya ditanam pada akhir zaman Kesultanan Mataram, yaitu dengan kedatangan pasukan Belanda yang tidak menimbulkan malapetaka politik di daerah tersebut.
Sepeninggal Amangkurat IV dari Kesultanan Mataram pada tahun 1726, Mataram dibayangi campur tangan Belanda yang berhasil mendudukkan Adipati Anom (yang bergelar Pakubuwana II) sebagai pengganti pewaris sah Pangeran Arya Mangkunagara yang menentang keras Belanda.
Melalui gerakan politik yang licik, Arya Mangkunegara diasingkan ke Ceylon pada tahun 1728, dan akhirnya dikirim ke Kaapstad di ujung paling selatan Afrika.
Geger Pacinan
Sementara itu, pada tahun 1742 terjadi pemberontakan Tionghoa yang dikenal sebagai “Geger Pacinang” di Batavia (sekarang Jakarta). Pemberontakan tersebut sebagai reaksi atas genosida Tionghoa yang diarahkan oleh Gubernur Jenderal Belanda, Adriaan Valckenier.
Orang-orang yang selamat melarikan diri untuk berlindung ke timur, di mana mereka akhirnya bergabung dengan petani Mataram yang mengalami nasib serupa di bawah penindasan Belanda dan juga oleh penguasa mereka sendiri.
Kaum tani Mataram yang tertindas dipimpin oleh seorang pangeran pejuang yang gagah berani bernama Raden Mas Said, yang merupakan anak dari pangeran pengasingan Arya Mangkunegara.
Hingga kemudian pasukan gabungan berhasil merobohkan tembok dan menghancurkan Keraton di Kartasura, memaksa Sultan Pakubuwana II mundur ke Ponorogo di Jawa Timur.
Diketahui pada saat itu Raden Mas Said menikah dengan Rubiyah yang pada akhirnya menjadi pemimpin perempuan dan diberi gelar Matah Ati.
Namun Enam bulan kemudian, dengan bantuan pasukan Belanda, Pakubuwana II berhasil memadamkan pemberontakan tersebut.Akan tetapi Keraton Kartasura hancur total, sehingga Sultan terpaksa memindahkan ibu kota ke Surakarta.
Kebijakan Pakubuwana II tersebut melibatkan pasukan Belanda secara langsung dalam perang dan membuat kesultanan harus menyerahkan wilayah Mataram yang terbentang dari Rembang di Jawa Tengah bagian utara hingga Surabaya, Madiun, dan Madura di Jawa Timur. Kebijakan tersebut bahkan melucuti kekuasaan Pakubuwana II yang berkuasa karena ia hanya menjadi Leenman atau “Peminjam otoritas Belanda”.
Perjanjian Piagam Giyanti dan Salatiga
Pada tahun 1755 diadakan Perjanjian Giyanti yang ditandatangani Pakubuwana III, Pangeran Mangkubumi, dan wakil Belanda, Nicolas Hartingh. Perjanjian tersebut bertujuan agar perselisihan antara Pakubuwono III dan Pangeran Mangkubumi diselesaikan.
Piagam Giyanti tersebut juga menandai berakhirnya secara resmi Kesultanan Mataram yang bersatu dan merdeka. Kemudian sejak Perjanjian Giyanti, wilayah dibagi menjadi Kesultanan Mataram di Yogyakarta yang diperintah oleh Pangeran Mangkubumi (yang kemudian mengambil nama Hamengkubuwono I) dan Kasunanan Surakarta di bawah Pakubuwono III. Kesultanan Yogyakarta kemudian mendirikan Keraton atau Keraton Yogyakarta.
Piagam itu juga membentuk koalisi baru antara pasukan Surakarta, Yogyakarta, dan Belanda untuk melawan Raden Mas Said. Tercatat tiga pertempuran besar sepanjang tahun 1752-1757.
Pertempuran tersebut kemudian membuat Raden Mas Said disebut sebagai Pangeran Sambernyawa atau Pangeran Pengambil Nyawa, karena selalu membawa teror dan menebar kematian di medan perang.
Lantaran tidak ada yang bisa mengalahkan Raden Mas Said, Nicholas Hartingh, penguasa Belanda di Semarang, mendesak Paku Buwono III untuk mengundang Raden Mas Said dalam pembicaraan diplomatik.
Raden Mas Said menerima ajakan tersebut dengan syarat tidak melibatkan penguasa Belanda. Akhirnya perdamaian terjadi pada tahun 1757 melalui Piagam Salatiga, yang kemudian diakui oleh Kesultanan Yogyakarta serta penguasa Belanda.
Melalui Piagam Salatiga dinyatakan jika Raden Mas Said dilantik sebagai Adipati Miji atau penguasa Merdeka atas Praja Mangkunegaran atau Kabupaten Mandiri Mangkunegaran.
Bergelar Mangkunegara I, Raden Mas Said menguasai Kedaung, Matesih, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang Utara, dan Kedu. Kemudian Raden Mas Said mendirikan istananya sendiri di dekat Sungai Pepe, yang sekarang dikenal sebagai Pura Mangkunegaran.
Selain sejarah Pura Mangkunegaran, ikuti artikel-artikel menarik lainnya juga ya. Kalo kamu ingin tahu informasi menarik lainnya, jangan ketinggalan pantau terus kabar terupdate dari ERA dan follow semua akun sosial medianya! Bikin Paham, Bikin Nyaman…