"(Permintaan maaf) sampai detik ini belum ada," kata Nikita kepada wartawan dalam konferensi pers di Blok M, Jakarta Selatan, Selasa (14/8/2018).
Kasus ini sebenarnya sudah cukup lama bergulir. Pengacara Nikita, Muannas Alaidid, yang mendampinginya menjelaskan kasus ini bergulir pada akhir September 2017. Saat itu Nikki--sapaan akrabnya--membuat heboh lantaran cuitannya yang berbunyi: 'Ngga seru nonton film G30SPKI lebih seru kalau Jenderal Gatot --Nurmantyo-- yang masuk ke dalam lubang buaya'.
Kicauan ini sontak menimbulkan berbagai reaksi yang cukup keras. Banyak pihak beramai-ramai melaporkan Nikki ke pihak kepolisian. Termasuk Sam Aliano, yang melaporkan Nikki ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan berakibat pembatalan sejumlah kontrak Nikki di stasiun televisi saat itu.
"Berapa ya, kalau kemarin kontrak-kontraknya semua sudah dikasih polisi ke penyidik. Kontraknya sudah ada kerugian ya lumayan ya. Miliaran lah. Di bawah Rp5 miliar," Nikki menjelaskan kerugian materi yang dialaminya terkait pelaporan yang dilakukan Sam Aliano.
"Kerugiannya, ada empat program dibatalkan sebelah pihak sama stasiun televisi sebelah yang ada Nikita Goyangnya. Ada off-air 15 kota juga karena takut ada massa yang dateng ke klub saat itu jadi mungkin karena itu mereka mutusin sebelah pihak," imbuhnya.
Artis yang kini memilih mengenakan hijab itu juga menyebut, butuh waktu sekitar tujuh bulan untuk memperbaiki nama baiknya hingga ia kembali dibanjiri pekerjaan.
Dalam kesempatan itu, pengacara Nikki yang ikut mendampingi dalam konferensi pers, Aulia Fahmi, juga bilang, sebenarnya mereka tak ingin memenjarakan orang lain dan proses perdamaian juga terbuka lebar tapi jangan sampai proses damai ini hanya sekedar gimik semata. Loh, maksudnya gimana?
"Proses perdamaian akan dibuka, hanya saya kira konkret ada komunikasi, ada iktikad baik, ada langkah-langkah yang baik dengan menghubungi. Jadi bukan ngomong di media 'damai' atau 'merasa terdzalimi' tapi tidak melakukan upaya-upaya konkret membangun upaya perdamaian, saya kira cuma citra diri aja. Nah ini yang paling kita apresiasi kalau Pak Sam Aliano mau berdamai," jelas Fahmi.
Dengan berdamai, Fahmi juga bilang bisa saja pihak Nikita Mirzana mencabut laporan tersebut. Sebabnya, laporan ini merupakan delik aduan yang berarti si pengadu adalah korban. Kalau misalnya korban merasa masalah ini sudah selesai maka urusan pelaporan bisa dicabut. Tapi, itikad baik dari pengusaha yang ramai mau jadi calon presiden itu masih ditunggu oleh Nikita Mirzani dan pengacaranya.
"Yang harus dibangun adalah dia (Sam Aliano) berniat menghubungi Nikita maupun kuasa (hukum) nya. Tak hanya itu, dia bersedia diri untuk membuka kerugian berapa yang dialami Nikki akibat twit palsu yang dilaporkan ke KPI dan berakibat pada pemutusan kontrak kerja," katanya.
Nikki mengaku, siap membuka pintu maaf bagi Sam. Tapi menurutnya sampai saat ini masih belum ada pihak Sam yang menghubunginya.
Efek jera buat penyebar hoaks
Baik Nikki maupun pengacaranya sesungguh ingin memberikan efek jera kepada para penyebar hoaks dan hate-speech yang marak di media sosial. Mereka juga mendorong agar pemerintah bisa menggunakan sosmed dengan bijak.
Sebenarnya, sebaran masif hoaks di dunia maya telah diantisipasi oleh sejumlah pengembang platform media sosial. Facebook, Twitter, bahkan Google, dalam produk mesin pencariannya menyediakan fitur pemberantasan hoaks.
Beberapa waktu lalu, Ketua Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Septiaji Eko Nugroho mengatakan, literasi adalah hal paling penting untuk menghadapi masifnya sebaran hoaks.
Masuk akal. Sebab, sebagaimana dikatakan Aji, rendahnya budaya literasi adalah salah satu penyebab utama kenapa hoaks dapat menyebar dengan begitu masif dan relatif cepat.
Stanley Baran dan Dennis Davis, dalam bukunya, Teori Komunikasi Massa menjelaskan literasi media sebagai rangkaian kegiatan yang dilakukan seseorang dalam mengasah kepekaan terhadap paparan informasi media.
Dengan memahami konsep di atas, setiap orang akan sadar bahwa mencari sumber informasi pembanding harus dilakukan untuk memvalidasi kebenaran sebuah informasi.
Literasi media meningkatkan kemampuan seseorang mengontrol dampak dari paparan informasi. Dengan literasi media, setiap orang akan memiliki kuasa penuh atas informasi yang ia terima.
Ada banyak cara untuk memahami bagaimana literasi media bekerja melindungi kita. Jurnal berjudul Mengembangkan Model Literasi Media yang Berkhebinnekaan dalam Menganalisis Informasi Palsu (Hoaks) di Media Sosial, misalnya.
Jurnal yang ditulis Vibriza Juliswara itu menyebut, pada prinsipnya, setiap orang wajib sadar bahwa dirinya adalah informasi sekaligus penyebar informasi serta pengelola informasi itu sendiri.
Selain menanamkan prinsip itu, Vibriza juga memaparkan beberapa manfaat dari penerapan literasi media. Pertama, meningkatkan daya kritis. Dengan daya kritis, setiap orang mampu melakukan pemilahan informasi yang ia temui.
Yang kedua adalah meningkatkan kemampuan memverifikasi sebuah informasi. Meningkatnya kemampuan verifikasi akan mendorong setiap orang melakukan pengecekan validitas dari setiap informasi yang ia peroleh.
Ketiga, kemampuan menganalisis pesan dalam ranah diskursus. Sederhananya, setiap orang akan mampu menafsirkan setiap gagasan yang ingin disampaikan oleh si penyebar informasi dengan baik. Entah informasi itu berakhir sebagai pesan implisit atau eksplisit.
Lebih dari itu, kemampuan menganalisis pesan dalam ranah diskursus akan mendorong seseorang membangun logika penciptaan realitas dari si penyebar informasi, termasuk latar belakang politik, budaya hingga ideologi.
Terakhir, kemampuan paling penting adalah mempertajam pertimbangan kita untuk memilah, mana informasi yang layak dibagikan kepada orang lain, dan mana informasi yang mentah yang tak layak dibagi.
Pada akhirnya, benar apa yang dikatakan Aji, bahwa tersebar atau tidaknya sebuah hoaks ada di kedua jempol kita. Tombol mana yang mau kita tekan. Share atau delete?
Dan seperti Mafindo punya ungkapan, "budayakan saring sebelum sharing!"
Baca Juga : Kabar Simpanan Energi Gempa 6,9 SR Lombok Hoaks
Ilustrasi (era/id)