ERA.id - Laboratorium Indonesia 2045 (LAB 45) merekomendasikan pemerintah Indonesia untuk bersikap netral dengan tidak membeli minyak murah dari Rusia. Hal ini berkaitan dengan aspek politik internasional yang telah dianut, tetapi tidak pula mengikuti aliansi pendukung pembatasan harga.
“Kemarin ada wacana dari pemerintah sendiri dan juga Pertamina untuk membeli minyak dari Rusia, tapi rasanya dari sisi politik internasional harus dikaji lebih jauh karena kita sudah di G20 sudah berdiri sebagai gerakan non-blok,” kata Tim Peneliti Cakrawala Strategis LAB 45 Irsyan Maududy dalam Webinar Proyeksi Tantangan Komoditas Strategis Minyak Bumi dan Batu Bara di Indonesia yang diselenggarakan LAB 45 pada Jumat (3/2).
Irsyan menerangkan, kajian LAB 45 menetapkan bahwa posisi internasional dan Indonesia terhadap kebijakan pembatasan harga cenderung berdampak negatif terhadap geopolitik dan ekonomi internasional.
Dari sisi geopolitik, pembatasan harga mempertegang konflik geopolitik antara Rusia dan Ukraina. Sementara dari sisi ekonomi, kebijakan pembatasan harga akan dirasakan dampak positifnya ketika kebijakan ini terealisasi secara efektif.
“Kebijakan ini sebenarnya bisa efektif kalau Rusia tidak melakukan counter policy, namun kelihatannya Rusia akan melakukan counter policy dan juga bisa menjadi senjata makan tuan untuk negara-negara aliansi karena mereka juga sedang mengalami inflasi yang tinggi,” jelasnya.
Menanggapi persoalan tersebut, Vice President Pertamina Energi Institute PT Pertamina (Persero) Hery Haerudin mengatakan pembatasan harga minyak Rusia akan mempercepat decoupling global.
“Price cap ini ibarat mendorong balon, tekan di sini, membelendung sebelah sana. Karena akhirnya minyak-minyak Rusia mengalir ke India dan China. India dan China mendapatkan harga yang kompetitif,” ujarnya.
Hery menjelaskan, Rusia merupakan produsen minyak terbesar ketiga di dunia setelah AS dan Arab Saudi, dengan produksi mencapai 10,78 juta barel per hari atau mencakup 11% produksi minyak dunia.
Menurutnya, adanya gangguan terhadap penjualan akan berdampak serius terhadap pasokan energi global. Turunnya pasokan minyak global akan mendorong harga energi lebih tinggi dan memicu inflasi.
Suku bunga yang tinggi juga meningkatkan biaya pembiayaan untuk teknologi baru yang mengurangi ketergantungan pada bahan bakar Fosil.
“Secara geopolitik, price cap yang berkepanjangan juga akan mendorong negara-negara penghasil minyak akan terlibat dalam persaingan AS-China, dengan mempertimbangkan keuntungan untuk bergabung dalam blok ekonomi-politik sesuai dengan kepentingan masing-masing,” kata Hery.
Vice President Riset Industri dan Regional Bank Mandiri Dendi Ramdani turut menambahkan, produksi minyak Rusia perlahan pulih. Peningkatan produksi minyak Rusia perlahan pulih karena permintaan oleh Tiongkok dan India.
“Peningkatan permintaan Tiongkok dan India dimotivasi oleh perbedaan harga antara minyak dari Rusia dan US. Sementara itu, produksi negara penghasil minyak lain juga meningkat,” ucapnya.