ERA.id - Laporan State of Food Security and Nutrition of The World 2022 yang diterbitkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan bahwa lebih dari 41 persen warga Korea Utara mengalami kurang gizi antara tahun 2019-2021.
Dengan demikian, diperkirakan ada lebih dari 10 juta warga yang bertempat tinggal di Korea Utara menderita kelaparan dan malnutrisi selama dunia diterjang pandemi COVID-19.
Laporan itu ditulis oleh beragam lembaga gabungan, seperti Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Dana Internasional untuk Pembangunan Pertanian (IFAD), Dana Anak-Anak PBB (Unicef), Program Pangan Dunia PBB (WFP), dan Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO).
Berdasarkan laporan tersebut yang dikutip oleh situs media nknews.org, Korea Utara berada di antara negara-negara dalam tingkat prevalensi kurang gizi terparah di dunia berdasarkan persentase penduduknya, termasuk sejumlah negara seperti Madagaskar, Somalia, Afrika Tengah, dan Haiti.
Meski tidak berada di peringkat paling buruk, para pakar juga mengingatkan bahwa situasi pangan secara keseluruhan di Korea Utara tampaknya tidak akan menunjukkan perbaikan, terutama karena kondisi cuaca yang lebih ekstrem yang sangat berdampak pada sistem pertanian yang rapuh di negara tersebut.
Sebenarnya fenomena kelaparan bukan sesuatu hal yang baru di negara yang sejak berdirinya selalu dikuasai oleh dinasti Kim tersebut.
Periode yang sangat terkenal adalah kelaparan di Korut pada tahun 1994 hingga 1998. Ketika itu, kelaparan disebabkan beragam faktor, seperti tata kelola ekonomi yang buruk serta hilangnya dukungan dari Uni Soviet (yang bubar beberapa tahun sebelumnya), serta permasalahan produksi dan impor pangan yang anjlok.
Periode kelaparan hebat itu mengakibatkan banyak sekali korban tewas di Korea Utara. Pada dekade 2000-an, kelompok periset independen memperkirakan antara 600.000 dan 1 juta orang meninggal akibat kelaparan dan penyakit yang terkait dengan kelaparan di Korut.
Penelitian yang dilakukan oleh Biro Sensus AS pada 2011 menyebutkan kemungkinan korban jiwa akibat kelaparan di Korut antara 1993 dan 2000 berada di antara angka 500.000 dan 600.000, sedangkan bila dihitung antara 1993 dan 2008, maka jumlah korban jiwa diperkirakan dapat mencapai hingga 1 juta.
Tragedi kemanusiaan terkait urusan perut itu juga diperkirakan kerap terjadi di negara tersebut, termasuk hingga saat ini.
Contohnya, saat kunjungan ke Korut pada 2011, mantan Presiden AS Jimmy Carter melaporkan bahwa sepertiga anak-anak di Korut dalam kondisi malnutrisi dan stunting dalam pertumbuhannya karena kekurangan pangan.
Namun, bagaimanakah langkah yang dilakukan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un dalam merespons berbagai tragedi termasuk peristiwa rawan pangan yang diduga sedang terjadi pada 2023 ini?
Kim Jong Un, yang menggantikan ayahnya Kim Jong Il sebagai pemimpin tertinggi Korea Utara sejak 2011, pada Februari 2023 lebih banyak tampil di pemberitaan media massa dengan citra "gagah-gagahan", terutama terkait dengan aspek kemiliteran negaranya.
Misalnya, pada 7 Februari, kantor berita Korut, KCNA, sebagaimana dikutip Reuters, melaporkan pertemuan di Korut yang dipimpin Kim untuk membahas bagaimana memperluas dan mengintensifkan pelatihan bertempur guna "menyempurnakan" kesiapan berperang.
Menurut KCNA, pertemuan itu membahas kedalaman militer dan politik untuk tahun 2023 serta isu jangka panjang terkait orientasi membangun angkatan bersenjata.
Kim menyatakan keyakinannya bahwa angkatan bersenjatanya akan selalu mencapai kejayaan dalam menjalankan tugas partai untuk menggapai "kekuatan militer yang tiada tara".
Pamerkan rudal balistik
Dua hari kemudian, dalam perayaan 75 tahun pembentukan Tentara Rakyat Korea, Korut menampilkan rudal balistik antarbenua dan unit nuklir taktis.
ICBM yang dipamerkan dalam parade tersebut di antaranya Hwasong-17 baru yang secara potensial dapat melaju lebih dari 15 ribu kilometer dan menjangkau daratan AS, menurut sebuah berita dari koran resmi Korut, Rodong Sinmun.
Mereka juga menunjukkan rudal balistik jarak jauh tipe baru, kemungkinan dilengkapi dengan mesin berbahan bakar padat, yang mampu memperpendek waktu persiapan peluncuran dibanding model berbahan bakar cair.
Pemerintah Korut sebelumnya pada Desember lalu menyatakan telah berhasil menguji coba motor berbahan bakar padat dengan daya dorong tinggi, 140 ton.
Adapun parade itu sendiri bertujuan untuk meningkatkan kebanggaan dan persatuan nasional, juga memamerkan perkembangan teknologi senjata negara tersebut.
Tidak cukup dengan memamerkan persenjataan mereka, Korut juga menembakkan rudal balistik pada 18 Februari yang jatuh di Laut Jepang.
Kementerian Pertahanan Jepang mengatakan rudal tersebut ditembakkan pada pukul 05:21 malam waktu setempat.
Sementara, Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida mengatakan proyektil tersebut diyakini jatuh di zona ekonomi eksklusif (EEZ) Jepang.
Peluncuran rudal tersebut terjadi sehari setelah Korut mengecam rencana Amerika Serikat dan Korea Selatan untuk mengadakan latihan keadaan darurat pada Februari, seperti juga untuk latihan militer gabungan pada Maret.
Korut memperingatkan bahwa mereka akan menghadapi tindakan balasan yang kokoh dan kuat yang belum pernah terjadi sebelumnya, menurut keterangan media milik pemerintah negara tersebut.
Semua peluncuran dan ancaman yang dilakukan otoritas Korut di bawah arahan Kim Jong Un terjadi di tengah adanya isu tentang krisis pangan di negara tersebut.
Kondisi pangan memburuk
Kementerian Unifikasi Korea Selatan, yang menangani hubungan dengan Korut, dalam sebuah pernyataan menyebutkan bahwa kondisi pangan di Korut tampaknya memburuk.
Lembaga pembangunan perdesaan Korsel memperkirakan bahwa produksi pangan di Korut pada 2022 menurun 3,8 persen dibandingkan tahun sebelumnya, yang disebabkan, antara lain, karena hujan yang sangat lebat pada musim panas serta kondisi cuaca lainnya.
Koran harian di Korsel, DongA Ilbo, pada Rabu (15/2) menyatakan bahwa Korut telah mengurangi jatah makanan sehari-hari kepada para tentaranya untuk pertama kali sejak tahun 2000.
Tidak hanya itu, Partai Buruh Korea, satu-satunya partai yang berkuasa di Korut, bakal menggelar pertemuan Komite Pusat dari partai tersebut yang akan diselenggarakan pada akhir Februari, sebagai tugas yang sangat penting dan mendesak guna menentukan strategi yang tepat dalam pembangunan pertanian.
Kementerian Unifikasi Korsel menyatakan bahwa pertemuan khusus semacam itu jarang terjadi di Korut, sedangkan para ahli mengatakan bahwa kerawanan pangan di Korea Utara makin memburuk di tengah rentetan sanksi internasional dan penguncian wilayah akibat COVID-19.
Menurut KCNA, pertemuan Komite Pusat Partai Buruh Korea tersebut pada hari pertama atau Minggu (26/2) menyetujui sejumlah agenda, tetapi dengan hanya memberikan sedikit detail.
Para pejabat di Korsel menilai pertemuan tersebut sebagai pengakuan de facto terhadap adanya peristiwa kelangkaan pangan yang serius di Korut.
Diharapkan hasil pertemuan tersebut dapat membawa Kim Jong Un, sebagai pemimpin tertinggi Korea Utara, menjadi sadar agar tidak hanya mementingkan citra "gagah" dan militeristik negerinya, tetapi lebih mengutamakan terpenuhinya urusan perut warganya yang sedang menderita kelaparan.