Bukan apa-apa. Kalau koruptor diperbolehkan nyaleg dan rakyat enggak hati-hati memilih wakilnya saat pemilu nanti, bisa-bisa rakyat lagi yang terancam jadi korban. Bayangkan jika kursi-kursi di parlemen nanti diisi oleh kepala-kepala yang sudah kepalang rusak oleh sifat rakus dan ketamakan. Bisa berabe. Coba saja pikirkan, biar bagaimanapun, anggota legislatif adalah orang-orang yang sangat menentukan nasib rakyat banyak.
Kira-kira, begini analogi dari kekacauan yang barangkali bakal timbul dari terpilihnya para caleg korup. Coba ya, kamu tahu kan, untuk dipilih sebagai pimpinan KPK, seseorang harus bebas dari perbuatan tercela. Untuk jadi anggota BPK, salah satu syaratnya adalah enggak pernah dipidana dengan ancaman hukuman lima tahun penjara. Atau jika seseorang ingin jadi anggota KY, dia harus bebas dari segala pidana.
Syarat semacam itu juga berlaku untuk seseorang yang hendak menjadi Hakim Agung, ia harus bebas dari catatan sanksi pemberhentian karena pelanggaran kode etik. Nah, masalahnya, posisi-posisi penting di atas dipilih oleh anggota DPR. Bayangkan, bagaimana jadinya jika parlemen nanti diisi oleh orang-orang korup? Kayaknya sih segala ketentuan-ketentuan yang tersebut di atas bakal enggak berpengaruh ya.
Ancaman dari para caleg korup ini nyata, kawan. Usai menganulir PKPU yang mengatur larangan nyaleg bagi koruptor, MA bahkan telah mendesak KPU untuk melaksanakan putusan tersebut. Bukan cuma desakan MA kepada KPU sih yang bikin risau. Isi peraturan MA Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil yang menjadi 'lawan' dari PKPU ini pun sejatinya sudah kepalang mengkhawatirkan.
Coba saja tengok Pasal 8 Ayat 2 yang menyebut: Dalam 90 hari setelah putusan MA tersebut dikirim ke Badan atau Pejabat Usaha Tata Negara, yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan tersebut, ternyata Pejabat tersebut tidak melaksanakan kewajibahnnya, demi hukum peraturan perundang-undangan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.
Artinya, sekarang bola ada di KPU. Apakah KPU ingin mengikuti peraturan MA atau tetap berjalan dengan PKPU Nomor 20/2018 yang melarang koruptor nyaleg itu. Putusan MA sendiri telah memberi waktu 90 hari kepada KPU untuk memberi tanggapan. Eh, tapi barangkali kekhawatiran soal ini jangan juga dibawa berlebihan kali, ya. Sebab, jika seluruh kehidupan ini berjalan normal, anulir yang dilakukan MA seharusnya enggak berpengaruh apa-apa buat PKPU 20/2018.
Alasannya, KPU telah menetapkan jadwal penetapan Daftar Calon Tetap (DCT) caleg pada 20 September 2018 mendatang. Mepet banget kan? Apa mungkin KPU mengundur jadwal penetapan DCT demi para caleg korup? Jawabannya, enggak. Ketua KPU, Arif Budiman sendiri yang janji sama kita semua, bahwa KPU akan tetap pada jadwal penetapan DCT semula. Dengan kata lain, harusnya enggak ada kesempatan lagi buat para caleg korup.
Lalu, salahkah KPU jika enggak mengikuti putusan MA? Jawabannya, enggak. Sebab, sebagaimana tafsirnya, Peraturan MA 1/2011 tentang Hak Uji Materiil ini memang bersifat ex nunc. Artinya, PKPU enggak otomatis batal cuma karena dianulir MA. Dengan kata lain, jika KPU memutuskan menolak melaksanakan Peraturan MA 1/2011, silakan saja. Atau jika KPU ingin melaksanakan putusan MA pun. Coba saja.
Rakyat sudah cerdas
Atau, kita kembali pada skenario terburuk: ketika surat suara kita nanti diisi nama-nama terpidana korupsi. Pilihannya cuma satu, melawan dengan menunjukkan bahwa rakyat bukan sekumpulan orang idiot. Caranya, tentu saja mencari informasi sebanyak mungkin soal caleg-caleg yang berkompetisi dalam perebutan suara. Cari tahu rekam jejak mereka, pastikan mereka orang yang oke. Bukan cuma berakal, tapi juga berbudi.
Buat partai politik pun, cobalah mulai lebih selektif memilih caleg. Bukan apa-apa, memajukan caleg yang telah memiliki noda korupsi tentu merugikan partai. Memang, saya enggak bisa memastikan tingkat keterpilihan para caleg korup dalam pemilu mendatang. Tapi, yang bisa saya pastikan adalah rakyat Indonesia hari ini bukan cuma kumpulan orang cerdas, tapi juga gerombolan manusia yang kebencian terhadap korupsinya telah mendidih.
Kami enggak asal ngomong. Ada datanya, kok. Dalam Indeks Perilaku Anti-Korupsi (IPAK) Indonesia tahun 2018 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kebencian masyarakat Indonesia terhadap korupsi mencapai angka 3,66. Artinya, dengan skala 0 sampai 5, angka 3,66 yang terdata dalam IPAK menunjukkan betapa masyarakat Indonesia begitu anti terhadap korupsi.
Meski begitu, Kepala BPS, Suharyanto mengatakan, angka ini belum cukup. Sebab, berdasar klasifikasi yang dilakukan BPS, angka 3,66 adalah angka yang cukup rendah kendati masih tergolong dalam bagian dari masyarakat pembenci korupsi. "Jadi kita lihat 3,66 itu termasuk pada golongan ketiga, masuk pada golongan antikorupsi, tapi belum pada golongan sangat antikorupsi," kata Suharyanto, Senin (17/9).
Karenanya, Suharyanto mendorong partisipasi seluruh pihak untuk menanamkan nilai-nilai antikorupsi secara lebih gencar. Bukan apa-apa, Suharyanto yakin, sikap permisif terhadap korupsi sejatinya adalah bagian dari pelestarian kasus-kasus korupsi itu sendiri. Makanya, enggak boleh lagi tuh permisif pada tindakan-tindakan korup, termasuk pada caleg-caleg korup. Pokoknya, satu kata: lawan!