Apa Betul Perokok Itu Pahlawan Tanpa Tanda Jasa?

| 20 Sep 2018 18:40
Apa Betul Perokok Itu Pahlawan Tanpa Tanda Jasa?
Ilustrasi orang merokok (Foto: Pixabay)
Jakarta, era.id - Para perokok di seluruh belahan Nusantara barangkali boleh sedikit berbangga. Kini, cap pahlawan tanpa tanda jasa yang biasa para perokok sematkan pada diri mereka sendiri, seakan dilegitimasi keadaan sial yang menimpa jaminan kesehatan nasional yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Pemerintah secara terang-terangan sudah bilang akan memanfaatkan dana bagi hasil cukai tembakau untuk menambal defisit BPJS Kesehatan yang diprediksi mencapai Rp10,989 triliun tahun ini.

Beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi meneken peraturan presiden (perpres) yang substansinya berisi bahwa pemerintah pusat bisa menggunakan pajak rokok untuk program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo dalam rapat bersama Komisi IX DPR, Senin (17/9) menjelaskan, perpres yang diteken Jokowi tempo hari itu adalah perubahan atas Perpres Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Tentu saja, kabar ini langsung memancing para perokok menyombongkan diri mereka. Di media sosial, para perokok ramai-ramai menahbiskan diri mereka sendiri sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Alasannya, tentu saja sumbangan cukai rokok mereka yang mencapai ratusan triliun. Bahkan, Presiden Jancukers, Sudjiwo Tedjo turut menyombong diri. Di akun Twitter @sudjiwotedjo, Si Mbah sempat kultwit, menuturkan betapa menyedihkannya nasib perokok yang seringkali terpinggirkan. Padahal bagi Sudjiwo, saat ini, perokok adalah satu-satunya pahlawan tanpa tanda jasa di negeri ini.

 

Tapi, apa iya para perokok betulan pahlawan tanpa tanda jasa? Apa betul itu klaim-klaim sombong para perokok, mereka adalah penyumbang pajak bernilai maha besar buat negara? Coba kita cek data. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sejak tahun 2007, tren penerimaan negara dari cukai rokok terus mengalami peningkatan. Dari yang cuma Rp44,68 triliun di tahun 2007 sampai Rp145,53 triliun di tahun 2016. Lumayan. Tapi, apa data tersebut cukup untuk melegitimasi klaim para perokok bahwa mereka adalah penyumbang proporsi pajak terbesar buat negara?

Masih menurut data BPS, tercatat bahwa rata-rata proporsi penerimaan cukai tembakau terhadap cukai negara mencapai 95 persen. Rinciannya begini. Pada 2007, proporsi penerimaan negara dari cukai tembakau adalah 97,45 persen atau Rp43,54 triliun. Kemudian, di tahun 2016, penerimaan negara dari cukai tembakau berada di angka Rp137,84 triliun, setara dengan 96,11 persen dari total penerimaan cukai atau 8,87 persen dari penerimaan negara. Artinya, terlegitimasi pulalah klaim para perokok bahwa mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang menyumbang begitu banyak pemasukan buat negara.

Dan soal pemanfaatan dana bagi hasil cukai tembakau untuk menutupi defisit BPJS Kesehatan, sejatinya langkah ini bukan pertama kalinya dilakukan pemerintah. Tahun 2017, saat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebut potensi defisit Rp9 triliun dari BPJS Kesehatan, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pun langsung mengambil keputusan yang sama, yakni memanfaatkan 50 persen dana bagi hasil cukai tembakau untuk menutupi kemungkinan defisit tersebut.

Ilustrasi (Pixabay)

Kontroversi

Bicara rokok, tentu saja kontroversi buntutnya. Tapi, kami enggak ingin terjebak dalam kontroversi dangkal soal baik atau buruknya kebiasan merokok. Buat kami, itu sepenuhnya sudah jadi hak setiap orang. Yang menarik dari keputusan pemanfaatan dana bagi hasil cukai tembakau untuk menambal defisit BPJS Kesehatan ini sejatinya adalah pernyataan yang disampaikan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Beberapa waktu pasca perpres diteken Jokowi, Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi langsung melontarkan kritik.

Menurut Tulus, ada ironi di balik keputusan pemerintah ini, yakni ketika pemerintah justru menggerakkan roda program jaminan kesehatan dengan hal yang sejatinya amat berlawanan dengan semangat kesehatan itu sendiri: rokok. Buat Tulus, keputusan ini sama saja dengan mengobati orang sakit dengan cara mengeksploitasi warganya agar jatuh sakit. "Alih-alih akan menimbulkan sejumlah ironi yang justru kontra produktif bagi masyarakat dan BPJS Kesehatan itu sendiri," kata Tulus dalam keterangan tertulisnya.

Enggak cuma itu, buat Tulus dan YLKI, menambal defisit BPJS dengan pajak rokok berpotensi menimbulkan paradigma keliru di tengah masyarakat soal merokok sebagai bentuk bantuan terhadap pemerintah. Ya, seperti yang saat ini banyak disuarakan para perokok. "Para perokok merasa sebagai pahlawan tanda jasa. Bahkan Ketua KNPI pun mengajak masyarakat agar terus merokok guna membantu pemerintah. Sebuah ajakan yang sesat," imbuh Tulus.

Strategi keuangan semacam ini biasa dikenal dengan sin tax (pajak dosa). Sin tax adalah pembiayaan layanan kesehatan dengan dana yang bersumber dari produk-produk yang berdampak buruk bagi kesehatan, termasuk rokok dan minuman beralkohol. Dikutip dari situs World Health Organization (WHO), pada Desember 2012, pemerintah Filipina kekurangan pendanaan untuk asuransi kesehatan mereka. Selain itu, minimnya jumlah tenaga medis hingga buruknya fasilitas kesehatan di wilayah-wilayah tertinggal pun jadi masalah lain. Nah, saat itu, pemerintah Filipina pun menetapkan langkah untuk memanfaatkan sin tax guna mengoptimalkan pembiayaan layanan dan asuransi kesehatan negara mereka.

Selain kontroversi soal sin tax yang disuarakan YLKI, pemanfaatan dana bagi hasil cukai tembakau juga menyebabkan pendapatan daerah yang selama ini berasal dari cukai rokok berkurang. Menurut Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Sumarsono, hal ini sangat berpengaruh bagi keuangan pemerintah daerah (pemda). Karena itulah Sumarsono meminta pemerintah pusat untuk mencarikan insentif lain buat pemerintahan di daerah-daerah.

"Yang jelas, sumber daerah, kalau dipotong, ya kalang kabut. Karena (pendapatan asli daerah) dari rokok itu paling besar. Yang kedua, restoran ... Ini jelas dilema bagi pendapatan daerah. Karena itulah, solusi terbaiknya, ketika PAD berkurang, harus dicarikan insentif atau sumber pendapatan yang lain," tutur Sumarsono sebagaimana dikutip Kompas.

Alasan Sumarsono dan pemerintahan di daerah pun sejatinya beralasan. Sebab, selama ini dana bagi hasil cukai tembakau jadi pendapatan terbesar sebuah daerah. Lagipula, jika melihat mekanisme pendanaan pemda lewat dana bagi hasil cukai tembakau, tampak betul bahwa alokasi sebagian dana tersebut bakal memberi pengaruh langsung pada pendanaan daerah.

Jadi, selama ini cukai produsen rokok masuk ke kantong negara melalui Direktorat Jenderal Bea Cukai Kemenkeu. Dari situ, dana tersebut dibagikan secara proporsional kepada 514 pemerintah kota/kabupaten di seluruh Indonesia. Nah, dana itulah yang disebut sebagai dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBH CHT). Dalam ketentuan perpres yang baru saja diteken Jokowi, disebutkan pendapatan negara dari cukai rokok nantinya akan dipotong 50 persen. Memang, sebagiannya tetap didistribusikan ke pemerintah kota dan kabupaten lewat DBH CHT. Tapi, tetap saja, jumlahnya dipastikan berkurang.

Nah, jika pertanyaan soal perokok sebagai pahlawan tanpa tanda jasa sudah terlegitimasi lewat data BPS, bagaimana dengan langkah pemerintah pusat ini? Tepatkah?

Rekomendasi