Siap Siaga Gempa di Pulau Jawa

| 02 Oct 2018 08:25
Siap Siaga Gempa di Pulau Jawa
Ilustrasi (Pixabay)
Jakarta, era.id - Gempa yang terjadi di Sulawesi Tengah, seharusnya jadi gambaran khususnya bagi pemerintah untuk lebih siap siaga menghadapi bencana, terutama gempa dan tsunami. 

Apalagi, hampir semua wilayah di Indonesia, mempunyai potensi bencana gempa dan tsunami yang cukup besar, tak terkecuali Pulau Jawa, khususnya di wilayah bagian Selatan. Wilayah Selatan Pulau Jawa memang menjadi jalur pertemuan dari dua lempeng besar benua, yakni lempeng Eurasia dan lempeng Indo Australia.

Menurut database gempa bumi dari Badan Geologi USGS dari tahun 1950-2013 (data terbaru) pada koordinat 91 derjat BT – 115 derajat BT, dan 2 derajat LU – 14 derajat LS, diperoleh sejumlah 3.556 data gempa di Pulau Jawa. Menurut Samodra dan Chandra dalam Karakteristik Gempa Bumi Di Sumatera dan Jawa Periode Tahun 1950-2013 (2013) berdasarkan magnitudo, rata-rata gempa yang terjadi di Jawa sebesar 4,65 SR. Selama periode tersebut di Jawa terdapat 10 kejadian gempa bumi dengan magnitudo 7 SR atau lebih, dengan magnitudo terbesarnya 7,8 SR.

Masih menurut Samodra dan Chandra, di wilayah Sumatera dan Jawa terdapat 4 dari 9 wilayah yang berpotensi terjadi gempa besar di wilayah Indonesia yang dikenal sebagai daerah seismic gap. Seismic gap merupakan zona patahan yang diketahui keaktifannya (dapat mengeluarkan gempa) tapi sudah lama tidak terjadi gempa di lokasi tersebut. Itu artinya ada kemungkinan segmen gempa tersebut sudah mengakumulasi energi gempa yang besar.

Gempa di Jawa banyak berasosiasi dengan gerakan Lempeng Hindia Australia di selatan Pulau Jawa. Zona subduksi ini secara kasat mata nampak sebagai palung Jawa yang terbentang dari barat ke timur dan di sebelah utaranya terdapat pegunungan memanjang bawah laut yang dikenal sebagai busur luar.

Daerah subduksi ini berumur cukup tua yakni lebih dari 150 juta tahun sehingga sempat dianggap sudah tidak menghasilkan gempa lagi atau istilahnya aseismik. Namun teori tersebut patah, ketika melihat peristiwa gempa Pancer di Banyuwangi pada 1994 dan Pangandaran 2006 yang berkekuatan sama-sama bermagnitudo 7,8 SR. Hal ini menunjukan subduksi tersebut tetap harus diperhitungkan sebagai sumber potensial gempa besar. 

Di antara kedua wilayah tersebut terdapat seismic gap meliputi kawasan sepanjang kurang lebih 400 km. Kawasan ini merupakan area yang sedang menimbun energi seismik secara terus-menerus karena belum mengalami pematahan. Selain berasosiasi dengan zona penunjaman, di Pulau Jawa terdapat juga sesar-sesar aktif yang dapat menjadi pusat gempa, seperti yang terjadi pada gempa Yogyakarta tahun 2006 misalnya.

Gempa-gempa tersebut merupakan gempa dangkal, sehingga dapat berdampak besar, terutama karena penduduk di Pulau Jawa cukup banyak, dengan kepadatan penduduk yang tinggi.

Membangun kesiapsiagaan di Jawa

Pada April 2018, BMKG menyelenggarakan seminar ilmiah agar kita lebih siaga terhadap potensi bencana gempa. Pada seminar itu dijelaskan bahwa diduga banyak wilayah di Jawa bagian barat yang mungkin terdampak gempa. 

Keberadaan zona sesar Baribis-Kendeng yang melewati Surabaya-Semarang-Cirebon dan mungkin Jakarta sebagai ancaman terjadinya gempa, mau sekecil apapun potensinya perlu ditindak lanjuti secara serius. Diperkirakan adanya interplate coupling di Selat Sunda dan Palung Jawa yang mencapai 50-80 persen, defisit slip pada bidang subduksi ini memiliki implikasi penting untuk potensi bahaya gempa bumi di Selatan Jawa bagian barat.

Oleh karena itu, Sekretaris Utama BMKG, Drs. Untung Merdijanto, M.Si, menyampaikan bahwa karena gempa bumi tidak bisa diprediksi, sehingga mitigasi perlu dikedepankan. Sementara hasil penelitian para ahli jangan dijadikan sebagai momok, tetapi untuk membangun kesiapsiagaan dalam menghadapi potensi gempabumi dan tsunami yang ada.

Tags : gempa
Rekomendasi