Ini Alasan DPR Tak Bacakan Surpres RUU Perampasan Aset, dari Kelebihan Kuota hingga Tarik Menarik Politik

| 11 Jul 2023 19:27
Ini Alasan DPR Tak Bacakan Surpres RUU Perampasan Aset, dari Kelebihan Kuota hingga Tarik Menarik Politik
Ketua DPR Puan Maharani. (Foto: Antara)

ERA.id - Surat Presiden (Surpres) dari Presiden Joko Widodo terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset tak dibacakan dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-29 Masa Sidang V Tahun 2022-2023.

Ketua DPR RI Puan Maharani mengatakan surpres RUU Perampasan Aset belum ditindaklanjuti karena Komisi III DPR RI masih fokus membahas sejumlah RUU.

"Terkait dengan perampasan aset, hari ini Komisi III sedang fokus membahas tiga RUU yang masih dibahas," kata Puan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/7/2023).

Menurutnya, DPR RI memiliki aturan agar masing-masing alat kelengkapan dewan (AKD) memiliki kuota untuk membahas RUU maupun revisi undang-undang.

Dia mengatakan tiap AKD dibatasi maksimal membahas dua RUU setiap tahunnya.

"DPR sekarang ini memfokuskan untuk bisa menyelesaikan rancangan undang-undang yang ada di setiap komisinya, setiap tahun maksimal dua, sesuai dengan tata tertibnya," kata Puan.

Dia menambahkan, apabila dalam satu atau dua tahun sudah ada RUU yang selesai dibahas, baru bisa menambah kuota pembahasan rancangan perundang-undangan.

"Jika kemudian dua (RUU) sudah selesai, silahkan menambah. Namun jika belum selesai, harus diselesaikan dahulu rancangan undang-undang tersebut, maksimal satu tahun (ada) dua (RUU)," paparnya.

Adanya kuota pembahsan RUU di setiap AKD merupakan komitmen DPR RI supaya fokus mencetak produk perundang-undangan yang nantinya bermanfaat bagi masyarakat.

"Dengan rancangan undang undang yang sedang dibahas di komisi masing masing, nantinya kalau sudah, baru kita akan membahas rancangan undang undang yang lain sehingga fokus dalam pembahasannya," paparnya.

Sementara Wakil Ketua DPR RI Lodewijk F Paulus mengatakan, pembahasan RUU Perampasan Aset tidak bisa dikerjakan tergesa-gesa.

Sebab, masih ada tarik menarik posisi politik dari sembilan fraksi yang ada di DPR RI. Menurutnya, seluruh fraksi harus satu suara terlebih dahulu baru bisa membahas RUU Perampasan Aset.

"Kan ada dinamika. Coba, katakan ada SOP kita yang bagaimana menuju ke sana. Kalau ini, katakan sembilan fraksi belum kompak gimana kita mau kelola ya, itu dulu yang disatukan," kata Lodewijk.

Sekretaris Jenderal Partai Golkar itu lantas mencontohkan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang baru saja disahkan menjadi undang-undang.

Menurutnya, setelah pembahasan dan pengambilan keputusan pun nyatanya masih ada fraksi yang tidak setuju.

"RUU Kesehatan sudah sahkan. Sudah sedemikian panjang (pembahasannya). Toh ada dua fraksi yang tidak menyetujui. Ya itu bagian dari kehidupan demokrasi di DPR ini," ucapnya.

Oleh karena itu, sembilan fraksi di DPR RI harus satu pandangan dulu sebelum membahas suatu produk rancangan perundang-undangan.

"Ada sembilan fraksi itu dulu yang harus disatukan," kata Lodewijk.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menekankan bahwa dirinya sudah sering kali mendorong agar RUU Perampasan Aset segera dibahas dan disahkan sebagai undang-undang.

"Saya tuh sudah mendorong tidak sekali dua kali. Sekarang itu posisinya ada di DPR. Masa saya ulang terus, saya ulang terus kan enggak lah," kata Jokowi dikutip dari YouTube Sekretariat Presiden, Selasa (27/6).

Dia menegaskan bahwa RUU Perampasan Aset saat ini bolanya berada di DPR RI. Menurutnya, ketimbang mendesak pemerintah terus menerus, lebih baik tanyakan kepada parlemen soal kelanjutan pembahasan RUU Perampasan Aset.

"Sudah di DPR, sekarang dorong saja yang ada di sana," tegas Jokowi.

Diketahui, pemerintah mengirimkan Surpres RUU Perampasan Aset sejak 4 Mei 2023. Sementara DPR RI membuka masa sidang baru pada 16 Mei 2023.

Rekomendasi