Jakarta, era.id - Nama Setya Novanto menjadi perbincangan publik belakangan ini. Baik di dunia nyata atau di dunia maya. Dia adalah Ketua nonaktif DPR yang menjadi tersangka kasus korupsi e-KTP.
Novanto menjadi sorotan karena drama selama menjalankan proses hukum yang menimpanya.
Ketua Umum Partai Golkar ini beberapa kali mangkir dengan alasan sakit dalam beberapa kali pemanggilan dan pemeriksaan kasusnya. Ini pula yang membuat warganet menyebut Novanto melakukan drama. Apalagi, kala itu Novanto dibilang sakit vertigo, ginjal, hingga jantung oleh koleganya.
Novanto ditetapkan tersangka oleh KPK pertama kali pada 17 Juli 2017. Namun, dia tidak terima. Novanto kemudian melayangkan gugatan praperadilan atas penetapan tersangkanya.
Buntutnya, status Novanto digugurkan hakim tunggal Cepi Iskandar yang mengabulkan sebagian gugatannya pada 29 September 2017.
Tidak selesai di sana, KPK melakukan penyelidikan baru untuk pengembangan perkara e-KTP. KPK kemudian menetapkan kembali Setya sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP pada 10 November 2017.
Drama dimulai lagi ketika Novanto tidak hadir dalam pemanggilan pertamanya pada 15 November. Dia beralasan memimpin rapat paripurna dan tidak bisa meninggalkan DPR.
Malam harinya, Novanto dipanggil paksa KPK. Dia dijemput KPK di kediamannya di Jalan Wijaya, Jakarta Selatan. Namun, KPK tidak menemukan Novanto di sana. Novanto hilang.
Keesokan harinya, Novanto melayani wawancara di sebuah stasiun televisi melalui sambungan telepon dan mengatakan bakal menyerahkan diri ke KPK.
Namun, sebelum ke KPK, Novanto mengalami kecelakaan. Kendaraan yang dia tumpangi menabrak tiang listrik di kawasan Permata Hijau, Jakarta Selatan. Fredrich bilang kalau Novanto luka-luka, berdarah-darah dan benjol segede bakpao.
Sambil proses penyidikan ini berjalan, Novanto menggugat keabsahan status tersangka atas dirinya untuk kali kedua. Sidang praperadilan dimulai pada 7 Desember di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Dari situ, KPK dan Novanto balap-balapan menyelesaikan proses hukum. KPK pun kebut pemberkasan perkara pokok Novanto.
Berkas pun akhirnya selesai \\pada 5 Desember 2017. Sidang pokok perkara Novanto kemudian dimulai di Pengadilan Tipikor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 13 Desember 2017.
Pada tanggal 13 Desember itu juga, Sidang putusan praperadilan Setya Novanto akan digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Di hari yang sama sidang perdana pokok perkara Setya juga akan digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Hakim tunggal praperadilan Setya Novanto, Kusno mengatakan gugatan Setya dinyatakan gugur saat hakim mulai memeriksa pokok perkara kasus e-KTP di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat.
Dalam sidang dakwaan pokok perkaranya, Novanto didakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP.
Pasal 3 memiliki ancaman maksimal penjara 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar. Sedangkan Pasal 2 ayat 1 ancaman minimalnya saja 4 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Pada 13 Desember, malam harinya, DPP Partai Golkar melakukan rapat pleno. Rapat dihadiri oleh Pelaksana tugas Ketua Umum Partai Golkar Idrus Marham dan Ketua Harian Nurdin Halid.
Hasilnya, memutuskan Airlangga Hartarto menggantikan Novanto sebagai Ketua Umum dan segera dikukuhkan pada Munaslub 20 Desember nanti. Nasib Novanto di Golkar sudah diputuskan.
Kemudian, pada 14 Desember, sidang praperadilan Novanto beragendakan membaca putusan. Hakim tunggal Kusno mengatakan kalau gugatan Novanto gugur.
Hakim Kusno pun bilang, dengan putusan ini tidak dimungkinkan untuk dilakukan proses hukum lainnya.
Harapan Novanto menang praperadilan sirna, kekuasaannya di Golkar dan DPR juga berpindah tangan. Nasib sedang sial, sudah jatuh tertimpa tangga.