Pertalian Gempa Bumi dan Letusan Gunung Berapi

| 05 Oct 2018 09:03
Pertalian Gempa Bumi dan Letusan Gunung Berapi
Gempa di Palu (Sumber: Istimewa)
Jakarta, era.id - Juli hingga masuknya bulan Oktober jadi sepertiga tahun paling berat untuk bangsa Indonesia. Guncangan gempa di Lombok pada Juli, bencana gempa dan tsunami pada penghujung September di Sulawesi Tengah, hingga rentetan gunung berapi yang mendadak aktif di awal Oktober. Duka bagai enggak mau pergi dari Tanah Air. Tapi, apa yang bisa kita amati dari rentetan cobaan itu? Mungkinkah ada pertalian antara rangkaian bencana tersebut.

Mengaitkan seluruh bencana yang terjadi di tahun ini barangkali akan sangat sulit. Tapi, bagaimana dengan gempa 7,4 SR di Sulawesi Tengah dan erupsi Gunung Soputan di Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara yang terjadi dalam kurun waktu lima hari setelah guncangan di Palu dan Donggala? Berbagai spekulasi muncul soal ini. Banyak ahli --yang dadakan alias netizen sampai yang betul-betul memiliki landasan keilmuan-- menuturkan pendapat soal kemungkinan adanya pertalian antara dua bencana ini.

Ogah berkutat dengan pendapat netizen yang asal terka, kami mencari pendapat ahli yang memang kredibel dalam hal ini. Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kasbani menjelaskan, pada dasarnya, sangat mungkin sebuah gempa bumi jadi pemicu letusan gunung berapi. Dan jika merujuk pantauan PVMBG, memang tercatat adanya lonjakan aktivitas Gunung Soputan sejak Senin (1/10), beberapa hari setelah terjadinya gempa di Sulawesi Tengah.

Meski kemungkinan itu ada, Kasbani menolak berspekulasi. Bukan apa-apa, meski terpantau mengalami peningkatan sejak gempa Sulawesi Tengah, aktivitas Gunung Soputan sejatinya sudah mengalami peningkatan bertahap sejak Juli 2018. Selain itu, jauhnya jarak antara titik gempa di Donggala dengan letak Gunung Soputan jadi salah satu yang membuat pernyataan Kasbani soal pertalian dua bencana ini bisa jadi mentah dengan sendirinya. 

"Tetapi kami telah melihat peningkatan aktivitas gunung berapi sejak Juli, dan aktivitas ini melonjak pada hari Senin," kata Kasbini sebagaimana ditulis usatoday.com.

Keraguan Kasbani soal pertalian dua bencana ini dipertegas oleh ahli vulkanologi dari Universitas Concord, Janine Krippner yang menyatakan bahwa gempa Sulawesi Tengah bukanlah pemicu erupsi Gunung Soputan. Meski begitu, Krippner menjelaskan, realitas geografis Indonesia yang merupakan negara dengan frekuensi gempa tinggi memungkinkan faktor kebetulan ini terjadi.

Faktor kebetulan yang dimaksud Krippner adalah bagaimana dua bencana ini terjadi di wilayah yang sama dalam waktu yang berdekatan. Sebab, frekuensi gempa yang tinggi biasanya memang diikuti dengan frekuensi letusan gunung berapi yang juga tinggi, meski enggak melulu saling terkait. "Sehingga keduanya pasti akan terjadi di wilayah yang sama dalam satu waktu," kata Krippner.

 

Gempa yang picu erupsi

Meski enggak ada data yang bisa membangun narasi valid soal pertalian gempa Sulawesi Tengah dengan letusan Gunung Soputan, ilmu pengetahuan menyebut secara pasti bahwa gempa sejatinya dapat meningkatkan potensi erupsi gunung berapi di sekitarnya. Ahli Geologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Danny Hilman Natawidjaja menjelaskan, gelombang seismik dari gempa dapat meningkatkan potensi erupsi gunung berapi di sekitarnya.

"Pada prinsipnya, gelombang seismik dari gempa dapat meningkatkan tekanan di ruang magma gunung api dan dapat menyebabkan letusan. Kami tidak tahu pasti," katanya. 

Lalu, bagaimana gempa dapat memicu erupsi gunung berapi. Berterimakasihlah pada ilmu pengetahuan, berkatnya kita bisa menjelaskan banyak hal, termasuk soal fenomena ini. Dirangkum dari artikel penjelasan lembaga penelitian geologi Amerika Serikat (USGS) yang dipublikasikan di laman resmi usgs.gov, terpicunya erupsi oleh gempa dapat terjadi karena perubahan tekanan lokal di sekeliling waduk magma sebagai akibat dari guncangan tanah atau perubahan pada tekanan di kerak bumi yang berada di sekitar wilayah gempa.

Meski begitu, USGS menjelaskan, enggak semua gempa bisa memicu reaksi gunung berapi kecuali gempa-gempa besar berkekuatan di atas 6 SR. Kesimpulan ini didapat USGS dari rekaman data seismik dan pengamatan terhadap peristiwa gempa bumi besar yang pernah terjadi di berbagai belahan dunia. Makanya, belum ada penjelasan yang betul-betul valid soal mekanisme terpicunya letusan gunung berapi oleh peristiwa gempa.

Jika melihat data USGS, fenomena terpicunya letusan gunung berapi oleh gempa pernah terjadi pada 29 November 1975, ketika gempa besar 7,2 SR di Hawaii, Amerika Serikat turut memicu letusan Gunung Kilauea yang berjarak sekitar 28 kilometer dari titik gempa. Saat itu, gempa besar diiringi oleh ratusan gempa susulan, tsunami, pergerakan tanah yang masif, hingga letusan Gunung Kilauea.

Saat itu, peneliti menyimpulkan, letusan Gunung Kilauea dipicu oleh gempa tersebut. Lalu, bagaimana para ahli dapat menyimpulkan demikian? Jawabannya, kesimpulan itu didapat para ahli setelah mengamati volume magma yang cenderung kecil serta durasi letusan gunung yang cenderung singkat.  

Di Indonesia sendiri, fenomena semacam ini pernah terjadi. Dalam gempa besar di Jakarta tahun 1780, misalnya. Sebagaimana dijelaskan dalam riset sejarah dan simulasi dalam Indonesia's Historical Earthquakes (2015) yang dilakukan Ngoc Nguyen bersama timnya. Saat itu, gempa 8,5 SR yang mengguncang Jakarta turut menggoyang seluruh daratan Pulau Jawa dan Pulau Sumatera bagian selatan.

Saat itu, gempa diikuti oleh letusan Gunung Salak yang berlangsung selama dua menit. Enggak cuma Gunung Salak. Saat itu, aktivitas Gunung Gede pun turut terpompa mendekati letusan. Catatan sejarah ini bagai melegitimasi hasil penelitian para ahli terkait gempa Hawaii dan letusan Gunung Kilauea, bahwa gejala letusan gunung berapi yang dipicu gempa selalu terjadi dalam volume magma yang cenderung kecil dengan durasi letusan yang cenderung singkat.

Tags : prayforpalu
Rekomendasi