Dua Tsunami dan Nyawa Kedua Rahmat

| 05 Oct 2018 09:25
Dua Tsunami dan Nyawa Kedua Rahmat
Tsunami di Palu (Sumber: Twitter/@Sutopo_PN)
Jakarta, era.id - Rahmat Saiful Bahri tak pernah membayangkan, kedatangannya ke Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng) pada 27 September 2018 lalu jadi kunjungan yang mempertemukannya lagi dengan kenangan buruk soal tsunami. Rahmat bisa saja tewas di kota itu, sama seperti saat tsunami menerjang kampung halamannya, Aceh, 2004 silam. Tapi, puji syukur, Rahmat kini bisa berkumpul kembali bersama keluarganya di Aceh.

Rahmat barangkali adalah satu dari sedikit orang yang mengalami situasi hidup dan mati terjebak dalam dua bencana tsunami di waktu dan tempat berbeda: di Aceh pada 26 Desember 2004 dan di Palu pada 28 September sepekan lalu. Maka, enggak berlebihan rasanya menyebut Rahmat sebagai salah satu orang yang paling beruntung, meski keberuntungan bukan satu-satunya hal yang membuat Rahmat tetap hidup.

Dua peristiwa tsunami itu dilalui Rahmat dengan berjibaku. Di Aceh, Rahmat harus berenang di antara arus deras tsunami dan puing bangunan yang hancur disapu tsunami sebelum akhirnya berhasil menyelamatkan diri ke daratan. Di Palu, Rahmat menggunakan akalnya, menjadikan pengalamannya bertahan hidup saat tsunami Aceh untuk menyelamatkan dirinya di Palu.

Rahmat yang merupakan Kepala Sekretariat Majelis Adat Aceh (MAA) tiba di Palu pada 27 September untuk mengikuti sebuah workshop yang dijadwalkan keesokan harinya. Di Palu, Rahmat menginap di Hotel Swiss Bell yang terletak enggak jauh dari pantai. Di hotel itu, Rahmat mendapat kamar di lantai tiga. Hanya sempat mengistirahatkan diri sebentar, Rahmat langsung disambut gempa kecil pada pukul 15.00 WITA. Namun, guncangan itu enggak terlalu mengganggunya.

Usai gempa kecil itu, Rahmat kemudian turun untuk mendaftarkan diri sebagai peserta acara di lantai satu hotel. Usai mendaftar, Rahmat kembali naik ke kamar untuk mandi. Namun, belum sempat Rahmat mandi, gempa dahsyat 7,4 SR mengguncang. "Pukul 18.00 WITA, saya naik ke lantai 3 dari lantai satu untuk mandi. Tiba-tiba, gempa 7,4 magnitudo mengguncang. Saya ambil pakaian dan turun ke bawah," tutur Rahmat seperti ditulis Detikcom.

Sampai di lantai satu, Rahmat disambut gelombang besar yang mulai menyapu daratan. Berbekal pengalaman di Aceh, Rahmat dengan cepat berlari ke lantai lima hotel. Rahmat tahu betul, bangunan tertinggi adalah tempat paling aman untuk menyelamatkan diri dari sapuan tsunami. Kata Rahmat, peristiwa demi peristiwa hari itu terjadi begitu cepat. Bahkan, menurut pengamatannya, tsunami menerjang dalam waktu sepuluh menit usai gempa besar terjadi.

Setelah keadaan dinilai cukup aman, Rahmat dan sejumlah penghuni dan staf hotel kembali ke lantai dasar. Di sana, Rahmat mendapati tanah lantai satu sudah amblas beberapa meter dan dipenuhi air serta pecahan kaca. Dan beruntung, pecahan kaca itu jadi satu-satunya luka yang didapat Rahmat dari bencana tsunami Palu.

"Di lantai bawah hotel masih ada air selutut. Kami kemudian dievakuasi oleh manajer hotel ke sebuah bukit yang jauh dari pantai," tutur Rahmat ditulis Viva.

 

Selamatkan diri ke pegunungan

Saat air surut, Rahmat beserta sejumlah penghuni dan staf hotel diungsikan dengan bus ke kawasan Gunung Silae, Palu. Di sana, Rahmat bermalam di pemukiman warga. Bersama pengungsi lain, Rahmat bertahan di bukit selama satu hari dua malam. Seluruh makanan dan minuman didapat Rahmat dari warga sekitar.

Ketika kondisi diperkirakan aman, Rahmat kembali ke hotel untuk mengambil barang-barang yang sempat ia tinggalkan. Dari hotel, Rahmat menuju bandara untuk pulang ke Aceh. Rahmat. Tapi, Rahmat enggak bisa semudah itu meninggalkan Palu. Kondisi yang kacau dengan banyaknya orang yang mencoba meninggalkan Palu membuat antrean pesawat angkut Hercules milik TNI penuh.

“Kami antre di bandara untuk bisa naik ke pesawat Hercules yang ada di sana. Tapi sudah empat hari empat malam saya tidak berhasil naik pesawat karena banyaknya penduduk berbondong-bondong ingin ke luar dari Palu,” keluhnya.

Beruntung, Rahmat saat itu masih mengantongi tiket pulang ke Aceh. Bermodal tiket itu, Rahmat melapor ke kantor Garuda Indonesia di sekitar Bandara Mutiara Palu. Namun, karena kesibukan lalu lintas bandara, Rahmat terpaksa menunggu beberapa waktu hingga pesawatnya diizinkan lepas landas.

Rabu (3/10), Rahmat akhirnya sampai di Bandara Sultan Iskandar Muda, Aceh Besar. Di sana, ia disambut keluarga dan rombongan yang kemudian membawanya ke Kantor Wali Kota Banda Aceh. Di sana, ia disambut dengan pemberian tepung tawar sebagai tanda syukur atas keselamatannya.

Tags : prayforpalu
Rekomendasi