Buramnya Sanksi Politik Uang

| 08 Oct 2018 16:37
Buramnya Sanksi Politik Uang
Ketua Bawaslu, Abhan Misbah (FOTO: Diah/era.id)
Jakarta, era.id - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menyoroti perbedaan regulasi antara Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada terkait kasus politik uang.

Ketua Bawaslu, Abhan Misbah berpendapat, sanksi politik uang dalam UU Pilkada lebih progresif dibanding UU Pemilu. "Terkait dengan subjek pelaku tindak pidana money politic. Di UU pilkada subjeknya lebih mudah, yaitu setiap orang, siapapun yang melakukan money poltic, siapapun yang memberi, itu bisa dijerat," ungkap Abhan di Kantor Bawaslu RI, jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Senin (8/10/2018).

Sementara itu, kata Abhan, dalam UU Pemilu, subjek yang bisa dijerat pidana dalam kasus politik uang hanyalah penerima, yaitu partai politik, sedangkan pemberi tidak dijerat pidana.

Di sisi lain, hukuman yang dijerat dalam kasus politik uang adalah hukuman pidana. Maka, kata Abhan, Bawaslu tidak bisa memberi sanksi administratif kepada peserta pemilu yang bersangkutan kasus politik uang.

"Di UU Nomor 7 Pasal 228 ini harus diproses dulu di pidana. Bawaslu tidak menindak secara administratif jika putusan pidananya tidak ada. Karena administratif itu bisa dikenakan ketika setelah putusan pidana yang punya kewenangan hukum tetap," tutur Abhan. 

"Persoalannya adalah Pasal 228 ditentukan ada larangan tapi sanksi pidananya apa itu enggak diatur. Misalnya kasus Andi Arief, itu problemnya mau diancam apa kita enggak tahu," lanjutnya.

Dengan demikan, Abhan bilang jika di dalam problem hukum ada persoalan, maka harus ada gerakan moral sebagai caleg bersih yang mengampanyekan anti-politik uang.

Untuk kamu ketahui, Pasal 228 UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu melarang segala bentuk pemberian imbalan terkait pencalonan presiden/wakil presiden. Jika terbukti, parpol itu tak boleh mengusung capres/cawapres di periode berikutnya. Berikut bunyinya:

Pasal 228

(1) Partai politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apa pun pada proses pencalonan Presiden dan Wakil Presiden;

(2) Dalam hal Partai Politik terbukti menerima imbalan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), Partai Politik yang bersangkutan dilarang dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya;

(3) Partai Politik yang menerima imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibuktikan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

(4) Setiap orang atau lembaga dilarang memberikan imbalan kepada Partai Politik dalam bentuk apa pun dalam proses pencalonan Presiden dan Wakil Presiden.

Tags : mahar politik
Rekomendasi