"Jika wacana mekanisme pemilihan kepala daerah kembali diperdebatkan, ini adalah langkah mundur dan kembali mengulang-ulang persoalan yang sama pada tahun 2014 yang lalu. Bagai kaset usang yang diputar kembali," kata Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini melalui keterangan tertulisnya, Rabu (11/4/2018).
Menurut Titi, seharusnya, DPR dan pemerintah melakukan evaluasi terhadap persoalan yang muncul di dalam sistem pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung, dan melakukan perbaikan terhadap beberapa kelemahan tersebut.
Soal tingginya biaya politik dalam pemilihan kepala daerah, menurut Titi, perlu dilihat secara serius apakah persoalan ini berasal dari sistem pemilihan kepala daerah langsung atau bukan. Sebab, dari fakta yang ada, biaya politik yang tinggi justru dikeluarkan oleh calon kepala daerah untuk hal-hal yang sudah dilarang di dalam Undang-undang Pilkada.
"Salah satunya adalah biaya untuk membayar uang pencalonan atau mahar politik kepada partai untuk proses pencalonan," ujar Titi.
Selain biaya mahar pencalonan, biaya politik tinggi dari calon kepala daerah juga berasal dari biaya memberi uang kepada pemilih, atau politik uang. Padahal, praktik politik uang adalah sesuatu yang dilarang di dalam sebuah pemilihan kepala daerah.
"Sekali lagi, biaya politik tinggi yang menjebak kepala daerah, justru dikeluarkan untuk hal-hal yang haram dilakukan dalam hukum pilkada," tutur Titi.
Baca: KPK Tak Pernah Usul Pilkada Dilakukan DPRD
"Sehingga menjadi tidak tepat jika solusi dari persoalan itu justru mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD," sambungnya.
Titi berpendapat, akan jauh lebih produktif jika DPR bersama dengan pemerintah melakukan perbaikan terhadap sistem pemilihan kepala daerah berdasarkan pendekatan evaluatif yang konstruktif dari tiga kali pengalaman pilkada transisi ini (Pilkada 2015, Pilkada 2017, dan Pilkada 2018).
Beberapa perbaikan yang mendesak perlu segera dilakukan adalah, pertama, membangun norma hukum di dalam UU Pilkada untuk penjatuhan sanksi bagi partai atau calon yang terlibat dalam mahar politik. Kedua, imbuh Titi, membangun pengaturan belanja kampanye di dalam UU Pilkada.
Baca: Bamsoet Usul Pilkada Dilakukan DPRD
"Dengan adanya pembatasan belanja kampanye, ini akan melengkapi ketentuan pembatasan sumbangan yang ada di dalam UU Pilkada sebelumnya," sebutnya.
Ketiga, Titi mengatakan, penting untuk menguatkan aparatur penegakan hukum pemilu, untuk lebih tegas melakukan pengawasan dan penindakan terhadap pelanggaran kampanye, khususnya dana kampanye yang tidak jujur, serta penjatuhan sanksi kepada pelaku politik uang.
Sebelumnya, Ketua DPR Bambang Soesatyo kembali mengeluarkan wacana untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Biaya politik yang sangat besar disebutkan menjadi alasan utama. Wacana ini juga mendapat respon positif dari Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) yang juga Ketua MPR Zulkifli Hasan.
Selain alasan biaya politik tinggi, banyaknya calon kepala daerah yang ditangkap oleh KPK dijadikan sebagai sebuah indikator, bahwa biaya politik tinggi kemudian yang membuat calon kepala daerah menjadi bertindak koruptif.