Entahlah, barangkali cuma Jokowi yang tahu apa alasannya. Dalam penuturannya saat itu, Jokowi menjelaskan, orang-orang sontoloyo yang ia maksud adalah para politikus yang gemar melakukan adu domba politik. Meski enggak menunjuk satu kepala pun, Jokowi nampaknya gerah betul dengan kelakuan politikus yang ia maksud, siapapun itu.
"Itulah kepandaian para politikus, memengaruhi masyarakat. Hati-hati, saya titip ini, hati-hati. Banyak politikus yang baik-baik, tapi juga banyak politikus yang sontoloyo ... Kalau masih memakai cara-cara lama seperti itu, masih politik kebencian, politik SARA, politik adu domba, politik pecah belah, itu yang namanya tadi politik sontoloyo," kata Presiden sebagaimana dikutip dari Antara, Kamis (25/10/2018).
Untuk menilai seberapa hebat umpatan Jokowi, barangkali perlu juga menengok sedikit makna asli dari kata sontoloyo yang diucapkan Jokowi. Menurut sejumlah literasi, kata sontoloyo sesungguhnya berasal dari Bahasa Jawa. Sontoloyo dalam makna aslinya adalah sebutan bagi seorang gembala bebek. Dalam berbagai cerita lokal, sontoloyo kerap digambarkan sebagai laki-laki bertopi caping yang kerap membawa tongkat panjang dengan rumbai plastik di ujungnya.
Jadi, jika merujuk pada pemaknaan aslinya, sontoloyo adalah kata yang sama sekali enggak bermakna umpatan. Maka, ketika kata itu digunakan Jokowi untuk menggambarkan politikus-politikus busuk, sejatinya kurang tepat juga. Soal ini, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Bambang Soesatyo sudah bilang, enggak ada hal yang perlu diributkan dengan kata sontoloyo Jokowi.
"Sontoloyo itu tidak mengganggu dalam bahasa Jawa dan masih kontekstual," ucap Bambang singkat, kepada Tempo.
Presiden Jokowi (Sumber: Instagram/@jokowi)
Berubah jadi umpatan
Namun, seiring perkembangan waktu, kata sontoloyo berkembang jadi sebuah umpatan. Belum jelas juga siapa orang yang pertama kali menggunakan kata sontoloyo sebagai umpatan. Yang pasti, orang itu bukanlah Young Lex. Sebab Young Lex rasanya lebih suka menggunakan kata maderfader atau fakir risol untuk mengumpat.
Jika merujuk pada situs ensiklo.com, umpatan sontoloyo bermula sejak zaman baheula, ketika bebek dan para gembalanya begitu banyak seliweran di desa-desa. Saat itu, banyaknya jumlah bebek yang digembalai para sontoloyo kerap menimbulkan gangguan perjalanan, menimbulkan kemacetan gerobak-gerobak sapi dan kuda pedati. Saat itulah biasanya para sopir pedati mengumpat dengan kata "sontoloyo".
Entah seakurat apa fakta ini, sebab enggak banyak juga literasi sejarah yang menjelaskan asal muasal kata sontoloyo. Yang jelas, kisah para sopir pedati yang kena macet akibat barisan bebek jauh lebih enak didengar daripada kisah bohong para aktivis kardus dan adu domba para politikus. Bukan begitu?
Seiring berjalan waktu, kata sontoloyo kemudian mengalami pergeseran makna hingga dua ribu tiga belas sepuluh ribu ratus derajat. Dari semula digunakan untuk menyebut profesi penggembala bebek menjadi kata umpatan yang bahkan sama panas dengan kata bajingan dan brengsek. Dan perubahan makna itu bahkan dicatat oleh sejumlah literasi dan panduan-panduan berbahasa.
Poerwadarminta, dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia terbitan 1952 menyertakan kata sontolojo dengan arti dungu atau bodoh sekali. Sedang dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia terbitan 1976, sontoloyo dimaknai sebagai konyol, tidak beres, hingga bodoh. Konotasi negatif kata sontoloyo pun abadi, seenggaknya sampai Tesamoko: Tesaurus Bahasa Indonesia diterbitkan pada tahun 2016. Dalam kitab berbahasa yang disusun Eko Endarmoko itu, sontoloyo dimaknai sebagai brengsek dan konyol.
Kini, Presiden Jokowi pun ikut-ikut menggunakan kata tersebut untuk menggambarkan tingkah polah para politikus brengsek. Tentu saja enggak ada satupun kepala yang ditunjuk Jokowi, yang jelas, mereka yang dimaksud Jokowi adalah para politikus yang menurutnya doyan mengadu domba dan menyebar kabar tipu-tipu.