Dampak dari perkembangan internet pun beragam. Salah satunya bisa menggerus nasionalisme klasik serta mengubah bentuk nasionalisme itu. Setidaknya itu yang dikatakan peneliti Puslit Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ibnu Nadzir.
Menurut dia, saat ini nasionalisme tidak lagi dibatasi dengan batas-batas negara. Nasionalisme mendatang tidak lagi mengenal batas dan seseorang akan merasa Indonesia tanpa harus tinggal dan lahir di negara itu. Kondisi itu, tentu saja mengagetkan, terutama bagi generasi sebelumnya yang menganggap bahwa nasionalisme yang diwujudkan dalam kecintaan pada identitas lokal.
Baca Juga : Cas cis cus English Enggak Nasionalis?
Proses pengibaran bendera merah putih di Istana Negara, 17 Agustus 2018. (Foto: presidenri.go.id)
Ibnu mengaku belum tahu bentuk nasionalisme ke depan seperti apa. Dia memberi contoh warga negara Korea yang tetap mencintai negaranya serta produk-produk dari negaranya di manapun berada.
"Untuk generasi milenial, perlu diperkuat pelajaran mengenai sejarah. Bagaimana Indonesia terbentuk. Namun yang diajarkan bukan hapalan, tapi bagaimana gagasan dari para pendiri bangsa ini," kata Ibnu dalam diskusi di Jakarta, seperti dikutip Antara, Rabu (31/10/2018).
Hasil penelitian Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI yang dilakukan dalam kurun waktu 2015 sampai 2018 memperlihatkan, kehadiran teknologi informasi dan komunikasi memang memungkinkan terciptanya ruang publik baru, namun kemampuan untuk menjangkaunya masih terbatas pada kelas sosial tertentu.
Baca Juga : Bahasa Bolak-balik Ngalam yang Berumur Panjang
Ketua Kelompok Peneliti Kebudayaan dan Multikulturalisme LIPI, Thung Ju Lan, mengatakan teknologi informasi dan komunikasi memungkinkan perubahan struktur yang ada di masyarakat, seperti inovasi percepatan mata rantai ekonomi maupun kemudahan dan kebebasan berekspresi.
"Komunitas-komunitas online lebih mendasarkan pada ikatan-ikatan primordialisme, baik etnisitas maupun agama, daripada mendiskusikan nasionalisme," kata dia.
Media sosial, lanjut Thung, seolah-olah membagi masyarakat dalam kotak-kotak yang acapkali memberikan ruang untuk saling menyebarkan kebencian.