Demi Tuti Tursilawati, Saatnya Hapus Hukuman Mati

| 31 Oct 2018 18:50
Demi Tuti Tursilawati, Saatnya Hapus Hukuman Mati
Tuty Tursilawati (Sumber: Migrant Care)
Jakarta, era.id - Indonesia kembali kehilangan pahlawan devisanya. TKI Tuti Tursilawati dihukum pancung di Arab Saudi tanpa notifikasi. Hukuman mati jadi momok bagi mereka para pahlawan devisa. Momok yang bisa jadi akan terpelihara panjang jika pemerintah enggak juga menghentikan praktik hukuman mati di negeri sendiri.

Amnesty International Indonesia menyoroti isu ini, menghapus hukuman mati adalah langkah paling masuk akal untuk menyelamatkan anak-anak bangsa --termasuk TKI-- yang terancam hukuman mati di luar negeri. Dengan menghapus hukuman mati di negeri sendiri, pemerintah Indonesia akan memiliki daya tawar lebih tinggi untuk memohon pengampunan warganya yang terancam hukuman mati di negeri orang.

"Itu kita jadi lebih solid. Kita jadi lebih jernih. Negara lain akan melihat, bahwa kita adalah negara yang sudah menjauhi praktik barbar itu. Ini akan menambah daya tawar, baik secara moral, secara hukum, dan secara diplomatis," terang Puri Kencana Putri, Campaign Manager Amnesty International Indonesia kepada era.id, Rabu (31/10/2018).

Amnesty International Indonesia, dalam laporan berjudul Keadilan yang Cacat: Peradilan yang Tidak Adil dan Hukuman Mati di Indonesia yang dipublikasikan tahun 2015 memaparkan sejumlah indikasi enggak efektifnya hukuman mati dalam praktik penegakan keadilan. Parahnya, dalam beberapa kasus, tercatat bahwa praktik hukuman mati di Indonesia mengalami kecacatan.

Dalam kasus yang menimpa warga Riau, Yusman Telaumbanua, misalnya. Menurut temuan Amnesty International Indonesia, dalam kasus itu, penegak hukum melakukan sebuah kesalahan fatal dengan menghukum mati anak di bawah umur. Saat itu, Yusman yang mengaku lahir pada tahun 1996 tetap dieksekusi mati. Jika merujuk pada waktu eksekusi dilakukan: 2013, Yusman artinya dieksekusi ketika berusia 18 tahun.

Padahal, menurut hukum internasional, telah jelas dilarang penerapan hukuman mati terhadap anak berusia di bawah 18 tahun. Selain perkara umur, Amnesty International Indonesia juga menemukan fakta bahwa proses hukum terhadap Yusman enggak dijalankan dengan seharusnya, bahwa Yusman kehilangan akses banding lantaran hak banding itu tak diinformasikan kepadanya. 

Dari 12 kasus yang didokumentasikan, Amnesty International Indonesia mencatat setidaknya ada tiga prinsip hukum yang dilanggar oleh pemerintah Indonesia dalam penerapan hukuman mati. Pertama, tentu saja adalah penerapan hukuman mati di bawah umur, sebagaimana dialami Yusman. Kedua, lemahnya upaya verifikasi dan tindaklanjut terhadap Rodrigo Gularte, seorang warga negara Brazil yang didiagnosa mengidap skizofrenia. Ketiga, dan paling banyak terjadi adalah putusnya akses perlindungan hukum terhadap para terpidana saat dijatuhi vonis hukuman mati.

Nah, berbagai catatan itu, dikatakan Amnesty International Indonesia sebagai salah satu sebab dari sulitnya berbagai upaya penyelamatan warga negara Indonesia yang terancam hukuman mati di negara lain. Dengan kata lain, kenapa negara lain harus memberi pengampunan kepada seseorang yang berasal dari negara yang tak mengenal kata ampun.

Dan hitung-hitungan ini barangkali yang terjadi dalam kasus Tuti. Ketika pemerintah Arab Saudi enggak memberikan notifikasi terkait eksekusi mati Tuti. Amnesty International Indonesia mencatat, tahun 2015, dalam gelombang pertama hukuman mati di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), pemerintah Indonesia juga melakukan kelalaian dengan enggak memberikan notifikasi kepada negara-negara yang warganya dieksekusi mati.

Bersama Freddy Budiman, tiga warga negara asing: Humprey Ejike Jefferson, Michael Titus Igweh, dan Seck Osmane dieksekusi tanpa pemberitahuan. Rabu 27 Juli 2016, atau dua hari sebelum eksekusi, keempatnya baru saja menuntaskan tanda tangan berbagai berkas, di mana salah satunya adalah berkas menolak hukuman mati yang mereka tandatangani pada pukul tiga sore.

Di situlah pelanggaran terjadi. Sebab, menurut hukum internasional yang juga dianut oleh Undang-Undang (UU) Nomor 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati, seseorang baru bisa dieksekusi setelah tiga hari atau 72 jam sejak menerima pemberitahuan.

Aksi damai tuntut penghentian hukuman mati (Sumber: Instagram/@amnestyindonesia)

Tertinggal peradaban

Soal hukuman mati, Indonesia jelas tertinggal peradaban. Ketika sebagian besar negara di dunia berhenti menghukum mati seseorang, Indonesia malah setia menerapkan hukuman barbar ini. Menurut catatan Amnesty International Indonesia, lebih dari dua pertiga atau 142 negara dunia telah menghapus hukuman mati dalam undang-undang mereka (abolisionis).

Rinciannya, ada 106 negara yang melakukan gerakan abolisionis untuk semua kejahatan tanpa terkecuali, tujuh negara dalam gerakan abolisionis kejahatan biasa, dan 29 negara untuk abolisionis dalam praktik.

Indonesia sendiri, hingga Oktober 2018 masih termasuk dalam negara retensionis hukuman mati. Artinya, sebagaimana dijelaskan di awal, bahwa peraturan perundang-undangan Indonesia masih menerapkan hukuman mati dan masih menjatuhkan vonis hukuman mati atau melakukan eksekusi hukuman mati dalam 10 tahun terakhir.

Selain Indonesia, negara-negara lain yang masih berstatus sebagai retensionis antara lain adalah; Afghanistan, Tiongkok, Kuba, Ethiopia, Iran, Irak, Malaysia, Nigeria, Korea Utara, Saudi Arabia, Sudan, dan Amerika Serikat. 

Dari deretan negara retensionis hukuman mati, Malaysia adalah salah satu negara yang telah memulai langkah menghapus hukuman mati untuk semua tindak kejahatan. Keputusan Pemerintah Malaysia tersebut diumumkan pada momen perayaan hari Anti Hukuman Mati Sedunia pada Rabu (10/10), tiga bulan setelah Pemerintah Malaysia mengumumkan moratorium eksekusi mati pada Juli 2018.

Pengamat hukum, Frans Winarta mendorong Indonesia untuk mengikuti jejak tetangga. Menurut Frans, tren dunia sudah begitu jauh berubah. Dan enggak ada gambaran lain dari praktik hukuman mati, kecuali barbar. Selain enggak efektif menimbulkan efek jera, Frans mengatakan, Indonesia adalah salah satu negara yang paling disoroti dunia soal penerapan hukuman mati untuk berbagai jenis kesehatan dalam hukum positifnya.

"Wajar bila di seluruh dunia mulai menghapus hukuman mati, namun persoalannya apakah Indonesia siap atau tidak," kata Frans.

Sejak Januari 2018 hingga Oktober 2018 pengadilan di Indonesia telah menjatuhkan 37 vonis mati. Dari total 37 kasus tersebut, 28 di antaranya terkait penyalahgunaan narkoba, delapan kasus pembunuhan dan satu vonis mati terkait tindak pidana terorisme. Delapan orang merupakan warga negara Taiwan dan sisanya warga negara Indonesia.

Sebanyak 37 kasus ini tentu menambah panjang daftar terpidana yang menunggu waktu eksekusi mati menjadi 299 orang, sebagaimana data yang dikeluarkan oleh Amnesty International Indonesia.

Sampai kapan?

Di Indonesia, hukuman mati dianggap sebagai sebuah langkah tegas untuk memunculkan efek jera. Pemerintah, dalam setiap pelaksanaan eksekusi matipun kerap menyebut hal tersebut sebagai landasan penerapan hukuman mati. Jaksa Agung Republik Indonesia, HM Prasetyo, dalam sebuah kesempatan pernah mengatakan, pemerintah sejauh ini masih berdiri tegak untuk menerapkan hukuman mati, terutama untuk kasus-kasus berat seperti terorisme dan narkoba.

Malahan, Prasetyo menjelaskan, ada tujuh kasus yang baru-baru ini ia perintahkan untuk dijatuhkan hukuman mati. Dan seluruh kasus tersebut adalah kasus peredaran narkoba. Menurut Prasetyo, sejak 2015-2018 Kejaksaan Agung telah melaksanakan eksekusi terhadap 18 terpidana mati yang terbagi dalam tiga tahap.

"Pada saatnya kalau kami akan eksekusi bakal kami kasih tahu," ucap Prasetyo.

Dari Gedung Parlemen, Anggota Komisi I DPR, Charles Honoris mendesak pemerintah untuk menghapuskan hukuman mati dari sistem hukum Indonesia. Politikus PDI Perjuangan (PDIP) itu berpendapat bahwa hukuman mati adalah pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM).  Dan bagi sebuah negara yang menjadikan Pancasila sebagai dasar negara, hal ini tentu dipertanyakan. Bagaimana mungkin, negara yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan menerapkan hukuman yang berlawanan dengan nilai kemanusiaan itu sendiri. 

Lagipula, menurut Charles, berbagai penelitian menyebut bahwa hukuman mati enggak menimbulkan efek jera bagi para pelaku kejahatan. Dalam kasus narkotika, misalnya. Berkali-kali hukuman mati sudah diterapkan, tetap saja enggak mengurangi frekuensi kejahatan penyelundupan narkotika. Charles bilang, yang perlu dilakukan dalam memberantas berbagai kejahatan adalah memperbaiki sistem dan proses penegakan hukum. Pemerintah dan institusi-institusi terkait harus memperkuat pencegahan dan penindakan terhadap kejahatan.

"Sekali lagi, hukuman mati tidak memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan. Terpidana hukuman mati Freddy Budiman sebelum dieksekusi tetap saja bisa menjalankan bisnisnya dari dalam penjara," kata Charles.

Soal ini, Amnesty International Indonesia melihat sentimen publik yang masih menganggap hukuman mati sebagai hal penting untuk memberi efek jera pada pelaku kejahatan memang masih besar. Dan sentimen itu, sengaja dipelihara untuk kepentingan politis sejumlah pihak.

"Hukuman mati kan ada isu sentimen publik, masih menganggap hukuman mati penting untuk efek jera ... Ada beberapa pihak yang ingin gunakan sentimen ini sebagai salah satu sentimen yang sifatnya status quo. Dibiarkan mengambang untuk digunakan sewaktu-waktu untuk kepentingan politik," kata Puri.

Selain moratorium, langkah terdekat yang bisa dilakukan Indonesia untuk menghentikan praktik hukum barbar ini adalah pertemuan negara-negara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat pada Desember mendatang. Dalam pertemuan itu, seluruh negara dunia akan membahas penerapan hukuman mati secara global.

Indonesia sendiri sejatinya telah menunjukkan indikasi langkah maju dalam dua pertemuan sebelumnya. Di tahun 2016 dan 2017, delegasi Indonesia selalu menyatakan abstain dalam proses voting. Dan Amnesty International Indonesia sendiri telah mengapresiasi hal ini, mengingat sebelum 2016 Indonesia selalu menolak keras penghapusan hukuman mati.

"Langkah paling dekat adalah bulan Desember, pertemuan PBB. Itu seluruh negara di dunia akan memutuskan secara global untuk jauhi hukuman mati. Kita selama dua tahun tearkhir, kita abstain. Ini posisi bagus. Ini abstain. Ini bagus, sebab kita selama ini selalu menolak. Kita harus isi juga dengan evaluasi. Birokrasi yang bisa jatuhkan hukuman mati," tutur Puri.

Tags : hukuman mati
Rekomendasi