Di hadapan peserta yang terdiri dari Kesbangpol dan sejumlah asosiasi pemerintah provinsi dan daerah, Wiranto mengungkapkan kekesalannya terhadap fenomena aksi atau demo yang ditunggangi pihak lain dengan motif politik.
"Teman-teman yang suka demo itu, demonya tuh ngopo sih. Udah panas, lapar, kehujanan. Demo teriak-teriak ujung-ujungnya ditunggangi pihak lain, demonya demo agama, teriaknya soal politik, bagaimana ini," ujar Wiranto di Hotel El Royale, Jakarta Utara, Kamis (22/11/2018).
Wiranto lalu mencontohkan soal demo aqidah, atau Aksi Bela Tauhid yang digelar pada Jumat (2/11) lalu. Diketahui, ada penyampaian narasi kampanye Pemilu yang dilantangkan oleh orator, yang menurut dia sudah berbelok substansinya.
"Demonya soal aqidah, tapi yang teriak naik mobil (komando) itu dukung pasangan nomor ini, jatuhkan, turunkan Pak Jokowi. Ini demo agama atau demo politik?" sebut Wiranto.
Padahal, lanjut dia, pihak yang ingin menyampaikan aspirasi tak perlu melakukan demo dengan turun ke jalan. Cukup perwakilan mendatangi Kemenkopolhukam, melakukan audiensi dan menjelaskan keinginannya.
"Kalau maunya sudah bisa direkam, diterima oleh para pemimpin, pemimpin akan bermusyawarah, ini kira-kira permintaannya patut dilakukan apa enggak. Masuk akal dilaksanakan apa enggak. Kalau enggak kita jawab oh belum bisa, nanti tahun depan atau nanti tunggu biayanya," jelasnya.
Lebih jauh, Wiranto menggambarkan situasi demo pada zaman dahulu, di mana sistem pemerintahan masih dipegang oleh seorang raja. Dahulu, dikisahkan Wiranto, masyarakat jika berdemo tidak seheboh sekarang.
"Zaman kerajaan kita, demonya itu duduk sila di alun-alun, diem enggak teriak-teriak. Rajanya ngeliat mereka itu ngapain panas panas, oh itu demo minta pajak diturunkan. Rajanya ngerti, coba musyawarah, dan bubar demo," pungkasnya.