Tak hanya di Jakarta, unjuk rasa mahasiswa ini juga secara serentak dilakukan di Riau, Bandung, Yogyakarta, Makassar, Bali hingga Papua, pada Senin (23/9). Mereka mengusung sejumlah tuntutan, di antaranya mendesak agar Presiden Joko Widodo menunda RUU KUHP dan membatalkan UU KPK yang baru saja disahkan.
Demonstrasi mahasiswa tersebut akhirnya membuat Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto angkat bicara. Ia mengingatkan para mahasiswa untuk tidak melakukan aksi turun ke jalan, sebab masih ada jalur lain yang lebih etis dan terhormat.
"Kirim perwakilan, bicara dengan institusi yang memang perlu mendengarkan aspirasi masyarakat," kata Wiranto di Kantor Kemenkopolhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (23/9).
Menurut Wiranto, aksi demonstrasi untuk menyampaikan pendapat di muka umum memang diperbolehkan, tetapi aspirasi melalui proses dialog akan jauh lebih mudah didengar. Belum lagi aksi massa yang turun ke jalan tentu akan menguras banyak energi dan mengganggu ketertiban umum.
Selain itu, Wiranto menilai aksi demonstrasi rentan disusupi oknum-oknum tertentu yang membawa kepentingan lain. "Kita ramai-ramai di jalan nanti ditunggangi oleh pihak-pihak lain, menimbulkan kekacauan akan merugikan masyarakat dan merugikan kita semua," ungkap mantan Pangab era Presiden Soeharto itu.
Di sisi lain, pernyataan Wiranto tak digubris oleh para mahasiswa yang berunjuk rasa di Jakarta. Alih-alih memilih jalur diplomasi dengan anggota DPR RI, para mahasiswa ini justru memilih untuk menyampaikan aspirasi mereka di depan Gedung DPR.
Mahasiswa dari berbagai kampus di Jakarta dan sekitarnya, seperti Universitas Indonesia (UI), Universitas Atma Jaya, Universitas Trisakti, Universitas Al-Azhar, Institut Kesenian Jakarta (IKJ), dan berbagai universitas lainnya tetap memilih turun ke jalan dan menyuarakan aspirasi mereka.
Meski sempat beraudiensi dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR, tapi nyatanya, di hadapan para wakil rakyat mereka justru menyampaikan mosi tidak percaya, karena DPR dianggap tak mampu mengakomodir para mahasiswa terkait hasil revisi UU KPK dan RKUHP.
Pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Ujang Komarudin mengatakan, demonstrasi yang dilakukan oleh para mahasiswa didasari rasa kekecewaan terhadap pemerintah. Menurutnya, turunnya mahasiswa ke jalan menandakan jika pemerintah dan DPR RI sudah tidak bisa lagi dipercaya. Hal ini dipicu sejak pemerintah mengambil sikap untuk mengesahkan revisi UU KPK.
"Rakyat dan mahasiswa minta UU KPK jangan dibahas, nyatanya, DPR bersekutu dengan pemerintah merevisi UU KPK. Artinya mereka sudah melemahkan KPK. Ini membuat masyarakat juga rakyat menjadi marah dan kecewa," ujar dia saat kepada era.id, Senin (23/9) malam.
Layaknya minyak panas, buntut kekecewaan mahasiswa diperparah dengan sejumlah pasal kontroversial yang ada dalam rancangan undang-undang (RUU) KUHP. "Rancangan tersebut hanya menguntungkan pemerintah dan DPR. Tidak ada untungnya bagi masyarakat. Jadi wajar masyarakat menolak," ungkap Ujang.
"Dan saat ini, kekecewaan itu ditumpahkan dengan demonstrasi di banyak daerah guna menolak revisi KUHP juga menolak UU KPK yang sudah ketok palu," imbuhnya.
Dialog mahasiswa berujung mosi tidak percaya dengan DPR (Mery/era.id)
Hal senada juga disampaikan pengamat politik LIPI, Aisah Putri Budiarti mengatakan, banyak cara untuk melakukan penyaluran aspirasi termasuk dialog. Namun, penyampaian aspirasi lewat aksi demonstrasi dan turun ke jalan masih dianggap cara yang efektif dalam menyampaikan aspirasi.
Apalagi, sudah ada amanah komstitusi yang mengatakan setiap warga negara punya hak dan dilindungi haknya dalam mengemukan pendapat di muka umum. Hanya saja, Puput mengingatkan, agar demonstrasi tetap harus berjalan kondusif dan tidak anarkis.
Puput juga menyebut, demonstrasi biasanya lebih cepat mendapatkan respon dari pembuat kebijakan karena beberapa faktor. Pertama, aksi demonstrasi biasanya bakal mendapat perhatian luas dari media massa dan publik. Tak hanya itu, aksi demonstrasi biasanya juga punya daya tular kepada aksi massa di tempat lainnya.
"Kedua, aksi publik seperti demonstrasi juga strategis karena masing-masing individu bisa menyuarakan apa yang dipikirkan sekaligus membentuk agenda tuntutan bersama sehingga daya tekan kepada pembuat kebijakan lebih besar karena melibatkan massa dalam jumlah besar," ujar Putri.
Diberitakan sebelumnya, aksi unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa bergejolak di sejumlah daerah. Hal ini dilakukan para mahasiswa sebagai bentuk protes terhadap rencana pemerintahan dan DPR mengesahkan sejumlah rancangan undang-undang yang dianggap kontroversial.