Prostitusi Online, Mana Korban dan Siapa Pelaku?

| 07 Jan 2019 18:43
Prostitusi <i>Online</i>, Mana Korban dan Siapa Pelaku?
Ilustrasi (Pixabay)
Jakarta, era.id - Polisi masih mendalami kasus prostitusi online yang menjerat Vanessa Angel dan model Avriellia Shaqqila. Dua orang muncikari, Endang (25) dan Tantri (28) ditetapkan sebagai tersangka. Belakangan, polisi melepas Vanessa pulang, bersama teman sekamarnya, pengusaha berinisial R. Keduanya masih berstatus saksi. Sebenarnya, bagaimana hukum Indonesia melihat pihak-pihak yang terlibat dalam bisnis lendir ini?

Pihak pertama, tentu adalah Endang dan Tantri, dua orang yang berperan sebagai muncikari dalam kasus ini. Endang dan Tantri adalah pihak yang mendatangkan Vanessa dan Avriellia ke Surabaya. Keduanya sudah ditangkap dan jadi tersangka. Polisi menjerat mereka dengan Pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 45 Ayat 1 Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan atau Pasal 297 juncto Pasal 506 KUHP.

Dengan jeratan pasal-pasal itu, Endang dan Tantri kini terancam hukuman enam tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar. Dalam Pasal 45 UU ITE, diatur bahwa: Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Sementara itu, dalam perspektif hukum, Vanessa ditempatkan sebagai korban dalam kasus ini, sesuai dengan keputusan Polda Jatim yang pada akhirnya memulangkan Vanessa dengan status saksi korban. Kenapa Vanessa korban? Jika digeneralisir, dalam banyak kasus prostitusi, penegakan hukum biasanya dilandasi pada UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Dengan landasan tersebut, Vanessa ditempatkan sebagai korban, yakni orang yang dijual untuk imbalan uang, yang dalam kasus Vanessa berjumlah Rp80 juta. Begini bunyi lengkap UU tersebut: Tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang lain tersebut, baik yang dilakukan dalam negara maupun antarnegara untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan tereksploitasi.

Tapi, entah logika hukum itu berlaku atau enggak. Toh, nyatanya polisi enggak menjerat Endang dan Tantri dengan UU 21/2007. Buat Vanessa, sejatinya dia bisa saja dijerat dengan Pasal 296 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) --pasal sama yang dijeratkan pada Endang dan Tantri-- yang berbunyi: Barang siapa yang mata pencahariannya atau kebiasaannya yaitu dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.

Namun, berdasar pemeriksaan awal, penyidik bilang kalau prostitusi bukanlah mata pencaharian utama Vanessa. Meski begitu, Kabid Humas Polda Jatim, Kombes Pol Frans Barung Mangera mengatakan, status hukum Vanessa bisa berubah seiring fakta hukum yang didapat dalam proses penyidikan dan penyelidikan.

"Dari bukti yang ada keduanya (Vanessa dan Avriellia Shaqqila --perempuan lain yang terjerat atas kasus yang sama) masih mendapatkan penghasilan sebagai pemain sinetron, model dan lain-lainnya," kata Barung, Senin (7/1/2019).

Pertanyaan soal status hukum

Dengan segala hormat, begitu banyak pertanyaan dalam kasus ini, termasuk soal status hukum pihak-pihak yang terlibat. Untuk Endang dan Tantri barangkali sudah cukup clear, meski penerapan UU 21/2007 ternyata absen dalam kasus ini. Sedang Vanessa dan si pria hidung belang, mengapa keduanya bebas dengan status saksi dan korban?

Di atas, kami telah menyinggung soal generalisasi penerapan UU perdagangan orang dalam banyak kasus prostitusi, Vanessa adalah objek jual beli dalam logika hukum UU perdagangan orang. Tapi, ketika polisi enggak menjerat Endang dan Tantri dengan UU ini, apa masih relevan memandang Vanessa sebagai korban? Atau daripada bingung, kami meminta pencerahan kepada Guru Besar Hukum Pidana Universitas Soedirman, Prof. Dr. Hibnu Nugroho.

Kepada kami, Hibnu menegaskan pandangannya. Ia enggak setuju Vanessa ditempatkan sebagai saksi ataupun korban. Ada kekeliruan, katanya. Hibnu bilang, ada satu teori hukum untuk melihat posisi Vanessa dalam kasus ini. Proactive Victim, namanya. Dalam teori ini, penegak hukum wajib melihat keberadaan tekanan --baik fisik ataupun mental-- yang melatarbelakangi keterlibatan Vanessa sebagai penyedia jasa seksual. Dalam kasus Vanessa, Hibnu melihat kecenderungan bahwa keterlibatan Vanessa dalam bisnis prostitusi ini dilakukan secara sadar.

"Enggak, korban (adalah ketika) seseorang mendapat tekanan secara sosial dan mental, tidak dalam keadaan sehat, tidak tertekan. Enggak bisa dikatakan korban hukum mereka (yang berada) tidak dalam tekanan, baik fisik dan mental ... Dalam teori korban, ada istilah proactive victim. Dikenakan (kepada) muncikari dan korban, karena ada aspek tanggung jawab muncikari dan korban," katanya.

Makanya, Hibnu mendorong polisi terus mendalami keterlibatan pihak-pihak, termasuk Vanessa dan Avriellia ataupun R. Memang, sejak awal polisi telah menjelaskan bahwa ada kemungkinan perubahan status hukum bagi pihak-pihak yang terlibat sejauh ini. "Jangan diputus. Masih ada potensi jadi tersangka."

Sementara itu, status hukum R, teman sekamar Vanessa juga dipertanyakan. Menurut Barung, biar bagaimanapun belum ada pasal yang bisa menjerat R. Dan tentu saja, polisi hanya bisa bergerak dengan landasan hukum yang berlaku.

"Tidak ada pasal, ya, Tidak ada pasal, regulasi, undang-undang yang menyatakan bahwa ketika seseorang memakai daripada jasa seseorang, terutama khusus kepada prostitusi, tidak ada undang-undang," tutur Barung.

"Kita penegak hukum hanya menjalankan regulasi dan undang-undang itu dan sementara belum bisa kita jerat yang bersangkutan," tambahnya.

Memang, belum ada landasan hukum apapun yang bisa menjerat seorang pelanggan jasa seks komersial, termasuk R. Kecuali jika R adalah orang yang sudah menikah. Ketika R sudah menikah, ia bisa dijerat dengan pasal soal perzinahan, penjeratan pasal itupun biasanya harus didasari oleh laporan istri R. Jika enggak, ya bebaslah pengusaha berduit banyak usia 45 tahun yang kata polisi masih melajang itu.

Rekomendasi