Bebaskan Ba'asyir, Jokowi Mesti Pertimbangkan Lagi Sistem Grasi

| 20 Jan 2019 15:34
 Bebaskan Ba'asyir, Jokowi Mesti Pertimbangkan Lagi Sistem Grasi
Narapidana terorisme Abu Bakar Ba'asyir bersama Yusril Ihza Mahendra. (Foto: Twitter @PBB2019)
Jakarta, era.id - Presiden Joko Widodo berencana membebaskan narapidana terorisme Abu Bakar Ba'asyir dari Lapas Gunung Sindur, Bogor dalam pada Kamis, 24 Januari 2019. Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara mempertanyakan skema pembebasan yang diberikan Presiden tersebut.

"Berdasarkan PP No. 99 tahun 2012 jo Permenkuham No. 3 tahun 2018 dijelaskan untuk mengeluarkan warga binaan pemasyarakatan dapat keluar dari Lembaga Pemasyarakatan sebelum menjalani semua masa pidana adalah dengan Pembebasan Bersyarat, yang diketahui menyertakan syarat-syarat khusus untuk narapidana terorisme," kata Anggara dalam keterangan tertulis, Minggu (20/1/2019).

Padahal, kata Anggara, merujuk pada keterangan dari Kuasa Hukum ABB, pembebasan tersebut bukanlah pembebasan bersyarat dan juga bukan grasi. Di samping itu, pembebasan dengan skema lainnya pun dipertanyakan.

"Jika dengan mekanisme amnesti sesuai dengan UU 1945 jo UU No 11 tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi, maka hal tersebut pun tidak dapat dilakukan, karena amnesti menghilangkan semua akibat hukum dari tindak pidana yang dilakukan, dan sebelumnya harus ada nasihat tertulis dari Mahkamah Agung atas permintaan Menteri Hukum dan HAM dan kemudian juga harus dengan pertimbangan DPR," jelas dia.

Anggara tidak menyalahkan Jokowi atas pembebebasan Ba'asyir jika memang benar beralasan kemanusiaan. Namun, ICJR juga menunggu langkah kemanusiaan lainnya dari Presiden Joko Widodo.

"Jika Presiden menghormati nilai kemanusiaan ini, maka presiden harus mengubah pidana mati ke-51 orang tersebut menjadi pidana seumur hidup ataupun pidana maksimal 20 tahun penjara, karena masukkan seseorang dalam daftar tunggu pidana mati terlalu lama dengan ketidakpastian merupakan bentuk penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi dari negara," ungkap Anggara.

Kemudian, Anggara juga meminta Jokowi untuk memberikan amnesti kepada Baiq Nuril dan Meiliana, yaitu kasus kriminalisasi yang rentan membrangus kebebasan bereskpresi dan berpendapat serta perlindungan hak korban di Indonesia.

"Presiden dengan nilai kemanusiaan yang dianutnya harus juga menginisiasi untuk dilakukan perubahan terhadap rumusan pasal karet tentang penodaan agama yang diskriminatif terhadap kelompok minoritas agama," sebut dia.

Yang terakhir, Jokowi juga harus secara seksama mempertimbangkan grasi, karena untuk terpidana mati kasus narkotika, Jokowi telah secara jelas menyatakan akan menolak seluruh permohonan grasi yang diajukan.

"Pertimbangan pada faktor kemanusiaan yang sangat bersifat individual dan subjektif harus dilakukan, tidak dapat diletakkan dalam konsep pukul rata seperti pada terpidana khusus kasus narkotika yang diterapkan Presiden, dalam kasus terpidana mati perempuan kasus narkotika pun jelas, bahwa perempuan kerap menjadi korban perdagangan orang lewat penipuan dan penyalahgunaan relasi kuasa sindikat narkotika," tutupnya.

Rekomendasi