Tanah Prabowo HGU? Kata Siapa?

| 23 Feb 2019 07:04
Tanah Prabowo HGU? Kata Siapa?
Lahan yang dikuasai Prabowo di Aceh (Istimewa)

Jakarta, era.id - Pasca debat pilpres ke dua, polemik kepemilikan lahan Prabowo Subianto mencuat. Publik ramai-ramai membicarakan kepemilikan lahan milik Prabowo seluas 340.00 hektar. Kepemilikan lahan Prabowo itu diungkap oleh Joko Widodo (Jokowi) di tengah-tengah gelaran debat dengan Prabowo.

Disindir seperti itu, Prabowo pun tidak mengelak. Dirinya mengakui bahwa kepemilikan lahan itu benar adanya. Namun ia mengatakan bahwa status tanah miliknya hanyalah sebatas Hak Guna Usaha (HGU) yang setiap saat bisa saja diambil kembali oleh negara.

Prabowo mengaku siap memberikan tanah itu apabila diperlukan dan diminta kembali oleh negara. Namun, Prabowo mengatakan, lebih baik ia yang mengelola lahan tersebut ketimbang diberikan ke negara dan dikelola asing, sebab Prabowo bilang ia adalah seorang nasionalis dan patriot.

Sementara itu, di lain kesempatan, salah satu anggota Ombudsman Republik Indonesia, Ahmad Alamsyah Saragih mengatakan bahwa kepemilikan lahan Prabowo di Aceh dan Kalimantan itu bukanlah berstatus HGU melainkan hutan tanaman industri (HTI).

"Hasil identifikasi yang dilakukan itu bukan HGU. Tanah yang dimiliki Pak Prabowo itu sebetulnya adalah izin tanaman hutan industri, berbeda itu," katanya seperti dikutip Detik.

Beda status HGU dan HTI

Beleid mengenai HGU diatur dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960. Detailnya dibahas dalam Pasal 28 dan Pasal 29 UUPA. Pada pasal 28 diterangkan bahwa yang dimaksud dengan HGU adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai negara dalam jangka waktu tertentu (disebutkan dalam pasal 29). Usaha yang diperkenankan, di antaraya adalah pertanian, perikanan, serta peternakan.

Lalu, yang kedua, HGU diberikan atas tanah yang memiliki luas paling sedikit 5 hektar. Apabila luasnya 25 hektar atau lebih, maka harus memakai investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik atau profesional. Terakhir yang diatur Ayat 3 adalah hak guna usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

Kemudian, yang diatur pada Pasal 29, yang pertama adalah soal jangka waktu hak atas tanah. Pada Ayat 1 dijelaskan bahwa waktu paling lama izin HGU yakni 25 tahun. Kemudian, apabila perusahaan membutuhkan waktu yang lebih lama dapat diberikan HGU untuk waktu paling lama 35 tahun. Terakhir, mengenai hak waktu guna usaha itu dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 25 tahun.

Sedangkan izin hutan tanaman industri (HTI) definisi dan aturannya dimuat dalam PP 7/1990 tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri. Dalam Pasal 1 dijelaskan: HTI adalah hutan tanaman yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan prodasi dengan menerapkan silvikultur intensif untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan. 

Kemudian, HTI haknya digunakan untuk mengusahakan hutan di dalam suatu kawasan hutan yang kegiatannya meliputi penanaman, pemeliharaan, pemungutan, pengolahan dan pemasaran.

Sementara itu, sesuai dengan Peraturan Badan Pusat Statistik Nomor 57 Tahun 2009 HTI terbagi menjadi dua klasifikasi, yaitu:

1. Bidang Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dari Hutan Tanaman Industri Utama, untuk klasifikasi Tanaman Industri ini terdiri dari Pengusahaan Hutan Tanaman Jati, Hutan Pinus, Hutan Mahoni, Hutan Sonokeling, Hutan Albasia, Hutan Cendana, Hutan Akasia dan Hutan Ekaliptus; 

2. Bidang Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dari Hutan Tanaman Lainnya.  Untuk klasifikasi jenis ini Tanaman Industri yang dimaksud mencakupi Tanaman Aren, Gmenlina, Jabon,  Aren, Kemiri, Biji Asam, Bahan Baku Arang, Kayu Manis, dll.

Pada jenis izin yang diatur dalam HTI mengatur mengenai jenis pemanfaatan hasil hutan lebih spesifik. Selain itu, berdasarkan Pasal 53 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2007 disebutkan bahwa jangka waktu izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTI dalam hutan tanaman pada hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf a, diberikan paling lama 100 tahun, dan tidak dapat diperpanjang kembali.

Terakhir, pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK( akan melakukan evaluasi terhadap izin tersebut setiap lima tahun sekali untuk menentukan kelangsungan izin itu.

Rekomendasi