Midodareni merupakan prosesi yang lazim dan sering kita dengar, namun masih banyak yang tidak tahu makna dan asal-usul tradisi tersebut.
Masih ingat dengan legenda Jaka Tarub? Cerita tentang pemuda yang mengambil selendang satu dari tujuh bidadari yang sedang mandi di danau. Tradisi midodareni berawal dari legenda Jaka Tarub dan salah satu bidadari tersebut, Dewi Nawangwulan.
Dewi Nawangwulan yang berasal dari kahyangan, hanya turun ke bumi untuk menyambangi anaknya, Nawangsih, yang akan menikah. Istilah midodareni berasal dari kata midodari, yang dalam bahasa Jawa berarti bidadari.
Berdasarkan cerita tersebut, terdapat mitos saat malam midodareni, para bidadari turun dari kahyangan untuk menyambangi kamar calon pengantin. Karena itu, calon pengantin perempuan harus dipingit (berdiam diri di kamar) pada malam menjelang pernikahan.
Selama dipingit, calon pengantin tidak boleh mengenakan riasan, dan mendapat wejangan dari saudara-saudaranya tentang bahtera rumah tangga. Saat midodareni, mempelai perempuan juga dilarang bertemu dengan mempelai laki-laki.
Mempelai laki-laki hanya diperbolehkan berkunjung sampai teras tanpa menemui mempelai perempuan. Pihak laki-laki juga mengantarkan seserahan berjumlah ganjil berupa keperluan calon pengantin perempuan sehari-hari.
Seserahan itu merupakan simbol mempelai laki-laki yang akan menafkahi istrinya saat berumah tangga nanti.