Bagaimana tidak, dari beberapa lembaga survei yang merilis elektabilitas kedua paslon, Litbang Kompas memaparkan selisih yang terkecil yakni 11,8 persen, di kala data sejumlah lembaga survei memaparkan elektabilitas yang masih sekitar 20 persen.
Dalam survei Kompas, pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin, hingga Maret 2019 berada di angka 49,2 persen, sedangkan Prabowo-Sandiaga 37,4 persen, dan 13,4 persen responden lainnya menyatakan rahasia.
Menanggapi hal ini, Peneliti LSI Denny JA Ikrama Masloman memandang ada hal yang membuat hasil survei bisa berbeda-beda tiap lembaga. Ia bilang, ada dinamika politik yang bergerak sejak survei dilakukan di lapangan sampai pada waktu dipaparkan.
Ikrama mencontohkan hasil survei sebelum masa Pilkada Jawa Barat 2018. Sebelum pilkada, hampir semua lembaga survei menempatkan elektabilitas pasangan nomor urut 3 yang diusung Gerindra, Sudrajat-Syaikhu di urutan ketiga. Angkanya hampir seragam di bawah 10 persen.
"Kurang dari 1 bulan, instalasi dukungan pasangan Sudrajat itu memiliki kenaikan luar biasa. Artinya, survei tidak bisa dibaca dalam jangka waktu yang lama. Jika dilakukan bulan Maret maka datanya hanya berlaku pada bulan Maret," tutur Ikrama dalam diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (26/3/2019).
Melanjutkan, Peneliti Alvara Research Center Hasanuddin Ali bilang, teknik pengambilan sampling yang berbeda tiap lembaga menghasilkan jawaban yang berbeda pula.
"Wilayah dan waktu penentuan sampling yang berbeda akan menghasilkan responden yang berbeda," ucap Hasanuddin.
"Kemudian, tergantung manajemen project saat kita melakukan survei, apakah tenaga lapangan kita memahami seratus erse apa yang dimaksud dalam pertanyaan sehingga responden bisa menjawab dengan benar," lanjut dia.
Lebih lanjut, peneliti Litbang Kompas Toto Suryaningtyas, yang surveinya tengah menjadi pembicaraan ini mengklarifikasi kenapa mereka memiliki hasil elektabilitas yang berbeda dengan survei lain.
Toto menganggap, survei paling anyarnya ini, jika dilihat dari sisi statistik, angkanya masih masuk dalam rentan margin error dari lembaga survei yang lain, sekitar 2-3 persen.
"Kalau bicara angka, kami tidak berbeda jauh. Tapi banyk yang bilang kami memakai angka yang skeptis, bukan optimis. Pandangan dari publik semakin terbentuk bahwa yang ini (paslon 01) turun, yang ini (paslon 02) naik, seakan-akan menempatkan kami ada asosiasi keberpihakan tertentu," jelas dia.
Untuk mempertegas jawaban dari pertanyaan kenapa hasil lembaga survei bisa berbeda-beda, pakar psikometri, riset, dan statistik Yahya Umar menyebut hal itu merupakan kewajaran.
"Hasil lembaga survei memang harus berbeda. Mengingat, caranya dan teknik pemilihan responden berbeda, metode pengambilan surveinya juga berbeda. Justru, jika lembaga survei berbeda tapi hasilnya sama itulah yang dipertanyakan," jelasnya.