Bahaya Mengancam di Balik Spanduk Caleg

| 16 Apr 2019 17:45
Bahaya Mengancam di Balik Spanduk Caleg
Alat peraga kampanye (Irfan/era.id)
Jakarta, era.id - Masa-masa kampanye telah usai. Debat capres kelima kemarin penutupnya. Salah satu hal yang menjadi sorotan di masa tenang saat ini adalah pembersihan alat peraga kampanye (APK). Baliho dan spanduk mulai dicopot para petugas. Tapi, pertanyaannya, akan dijadikan apa sampah-sampah politik yang jumlahnya tidak sedikit itu?

Sehari pasca berakhirnya masa kampanye, di Jakarta, petugas Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bersama Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dibantu Pasukan Oranye segera bebersih. Hasilnya, Petugas Badan Pengawas Pemilu DKI Jakarta menertibkan 195.669 alat peraga kampanye (APK). Penertiban tersebut serentak dilakukan di enam Kabupaten/Kota di DKI Jakarta.

"Hari pertama yang sudah dibersihkan oleh Bawaslu DKI bersama Satpol PP sudah 195.669 alat peraga kampanye, baik dari spanduk dan umbul-umbul," ujar Ketua Bawaslu DKI Jakarta Muhammad Jufri dikutip Antara, Senin (14/4).

Kami mencoba menghitung berapa berat dari jumlah APK yang terkumpul. Caranya, kami melihat berapa patokan ukuran dari baliho atau spanduk. Menurut peraturan KPU, kami dapati sekitar 4x7 meter untuk ukuran baliho yang paling besar. Sementara, 1,5x5 meter adalah ukuran maksimal untuk umbul-umbul atau spanduk.

Lalu, kami mencari berapa rata-rata berat baliho per meternya. Hasil penelusuran kami melalui situs percetakan, berat baliho per meternya rata-rata mencapai 340 gram. Artinya, jika angka-angka tersebut dikalikan dengan Jumlah APK yang sudah terdata sebanyak 195.669 buah, maka beratnya kira-kira mencapai kurang lebih 1.182 ton.

Tentu itu bukan angka yang kecil. Tapi, poin pentingnya kembali lagi: mau diapakan sampah sebanyak itu?

Memang belum ada kejelasan dari Bawaslu mengenai akan diapakan banner tersebut setelah dicopot dan dikumpulkan. Apakah akan didaur ulang, dibuat kerajinan atau mungkin ditunggu mengurai dengan sendirinya?

Pasalnya baliho atau banner tersebut merupakan material yang sulit untuk didaur ulang. Butuh ratusan tahun banner-banner itu untuk dapat didegradasi secara alami.

Seperti diketahui, bahan banner dan spanduk kebanyakan menggunakan bahan flexi (flex), yang merupakan kombinasi material PVC (poly-vinyl chloride), sejenis plastik. Tipenya merupakan polimer sintesis. Lebih parah lagi, apabila plastik yang mengandung PVC tersebut dibakar atau terurai oleh angin dan air, dapat menyebabkan berbagai gangguan kesehatan.

Sebagaimana yang dijelaskan Peneliti dari Departemen Ilmu Biologi Universitas, Joe Thornton dalam artikel pulpworksinc.com. Beberapa dampaknya, antara lain bisa mengakibatkan kanker, gangguan pada sistem endokrin, kerusakan reproduksi, dan mengurangi sistem kekebalan tubuh.

Penyelenggara pemilu sudah mewanti-wanti hal itu. Dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU), KPU mengimbau penggunaan bahan APK harus yang dapat didaur ulang. Tapi, entah apakah imbauan tersebut dicerna oleh kuping dan kepala para politikus. Semoga kecurigaan kami salah. Semoga tak ada bahan APK yang mengandung PVC pada pesta demokrasi kali ini.

Salah satu APK caleg DPD RI (Irfan/era.id)

Kampanye era digital

Lagian, hari gini masih pakai cara kuno tempel-tempel iklan. Asal tahu saja, dari 262 juta penduduk Indonesia hari ini, 143 juta atau lebih dari 50 persen di antaranya telah terdata sebagai pengguna internet. Melihat tren pendataan sebelumnya, organisasi yang merilis data tersebut, Asosiasi Penyelenggara jasa Internet Indonesia (APJII), memperkirakan jumlah tersebut bakal terus bertambah dari tahun ke tahun.

Itu baru pengguna internet, pengguna media sosial lebih banyak lagi. Riset Wearesosial Hootsuite per Januari 2019 mencatat pengguna medsos di Indonesia mencapai 150 juta atau 56 persen dari total populasi. Jumlah tersebut naik 20 persen dari survei sebelumnya.

Dan ingat. Bukan cuma manusianya saja lho yang sudah canggih. Infrastruktur berbasis digital dan internet Indonesia pun sudah lumayan oke. Belum sempurna memang, tapi satelit Palapa Ring harusnya bisa jadi gambaran betapa Indonesia sejatinya memang tengah berbenah membangun infrastruktur digital berbasis internet secara serius.

Selain itu, di zaman yang serba digital ini semuanya jadi lebih efisien. Misalnya konsep uang elektronik yang termasuk ke dalam program cashless. Sekarang kita tidak perlu lagi membawa dompet tebal-tebal untuk dapat berbelanja di manapun. Semuanya jadi lebih mudah dan simpel.

Mungkin ke depannya, harus lebih digalakkan lagi kampanye digital. Artinya, tidak perlu lagi dibuat baliho dan spanduk yang dicetak secara fisik. Selain bikin repot dan biaya lebih mahal, mencetak spanduk fisik juga sudah dianggap orang sebagai sampah visual bahkan menjadi limbah ketika masa kampanye telah usai.

Akan lebih baik apabila para calon pemimpin yang hendak berkampanye lima tahun lagi --mulai dari capres, cawapres, ataupun para aleg-- tak lagi menggunakan baliho dan spanduk fisik yang sudah ketinggalan zaman. Sebagai gantinya, cobalah menciptakan gaya baru berkampanye dengan memanfaatkan media sosial, website dan platform digital lain lebih optimal. 

Rekomendasi