Perlukah Mengungsi Jika Depok Benar-benar Punya Polisi Agama?

| 21 May 2019 06:01
Perlukah Mengungsi Jika Depok Benar-benar Punya Polisi Agama?
Pemerintah Kota Depok (Instagram: pemkotdepok)

Jakarta, era.id - Pemerintah Kota Depok bikin heboh dengan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Penyelenggaraan Kota Religius (PKR). Dalam raperda itu, pemerintah kota coba mengatur cara berpakaian hingga ketaatan beribadah warganya. Perda itu kemudian memicu polemik. DPRD telah menolak raperda tersebut. Sejumlah warga Depok bahkan menyuarakan ajakan mengungsi keluar dari Kota Belimbing.

Di Twitter, protes ini ramai diperbincangkan dalam sebuah thread yang dibuat seorang netizen bernama Yurgen Alifia Sutarno. Dalam kicauannya, akun @yurgensutarno mengajak masyarakat Depok membayangkan yang akan terjadi jika raperda ini disahkan. Yurgen berkelakar, bukan tak mungkin nantinya Satpol PP berpatroli mencari muslim Depok yang tak salat jumat atau menjalankan perintah agama Islam lainnya.

Kicauan Yurgen ditanggapi ramai. Akun @lelerazi misalnya, yang mengajak seluruh masyarakat Depok mengungsi ke luar daerah. "Kalau begini sih rasanya lebih baik mengungsi," tulisnya. Selain @lelerazi, netizen lain berakun @pusparasa8591 turut menyuarakan gagasan serupa.

Ia bahkan menyebut kekhawatiran, bahwa ia yang tak berhijab nantinya tak akan bisa masuk Kota Depok. "Harus ganti KTP, nih. Kayaknya aku sih enggak bakal bisa lagi masuk ke Depok. Sampai di UI nanti dirazia Pol PP karena pakaianku tak sesuai syariah," tulisnya.

Di parlemen, Ketua DPRD Kota Depok, Hendrik Tangke juga menyampaikan penolakan senada. Menurutnya, aturan-aturan dalam perda ini bersubstansi pada ranah yang seharusnya jadi persoalan pribadi. Alasan itu jugalah yang mendorong DPRD untuk menolak raperda yang telah diajukan pemerintah kota.

Dengan penolakan ini, Hendrik memastikan raperda tak akan lagi masuk dalam Program Legislasi Daerah atau Program Pembentukan Peraturan Daerah (Propemperda) 2020. "Religiusitas adalah hal yang bersifat sangat pribadi (privat)," kata Hendrik ditulis Detikcom, Senin (20/5/2019).

"Berkaitan dengan hubungan antara manusia dengan manusia dan manusia dengan Tuhan. Dengan demikian bukan kewenangan kota untuk mengatur kadar religiusitas warganya," tambahnya.

Aturan-aturan penuh polemik itu diatur pemerintah di dalam dua pasal. Pertama, adalah Pasal 5 berisi tiga ayat, yang mengatur bagaimana masyarakat harus menjalankan ibadahnya. Sementara itu, aturan yang mengatur cara berpakaian masyarakat diatur dalam Pasal 14 yang juga terdiri dari tiga ayat.

Berikut isi dua pasal tersebut:

Pasal 5

(1.) Setiap orang wajib melaksanakan ajaran agamanya masing-masing sebagai

tuntunan dan pedoman hidup, baik dalam menjalankan kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

(2.) Dalam upaya mewujudkan ajaran agama sebagai tuntunan dan pedoman hidup,

maka setiap orang agar senantiasa menyeru kepada kebajikan dan mencegah hal

hal yang tercela dalam kehidupan sehari-hari.

(3.) Setiap orang wajib menjaga kerukunan hidup antar pemeluk agama, etnis/suku

dan golongan dengan mengembangkan sikap saling menghargai (...)

Pasal 14

(1.) Setiap orang wajib berpakaian yang sopan sesuai ajaran agamanya masing- masing, norma kesopanan masyarakat Kota Depok.

(2.) Setiap pemeluk agama wajib saling menghormati dan menghargai tata cara dan batasan berpakaian sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing.

(3.) Setiap lembaga, baik pemerintah daerah maupun swasta di Kota Depok mengatur dan menetapkan ketentuan berpakaian bagi setiap pegawai, karyawan dan/atau orang yang berada dibawah tanggung jawabnya atau lingkungan kerjanya dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan, cara berpakaian menurut ajaran agamanya dan/atau norma kesopanan masyarakat Kota Depok.

Nahdlatul Ulama ikut menolak

Polemik raperda ini nyatanya juga ditolak oleh tokoh muda Nahdlatul Ulama (NU), Akhmad Sahal. Menurutnya, raperda tersebut berpotensi memunculkan sikap diskriminasi dan intoleransi antarumat beragama.

"Raperda tersebut bukan hanya tak diperlukan, tapi justru akan menimbulkan diskriminasi dan intoleransi. (Raperda) juga memunculkan 'polisi agama' yang merasa menjadi wakil Tuhan di bumi," kata Akhmad lewat sambungan telepon.

Perkara polisi agama ini juga bisa jadi persoalan baru. Menurutnya, tak boleh ada penegak hukum yang menempatkan diri seakan-akan dirinya adalah wakil Tuhan. 

"Enggak berhak (bagi aparat) dan enggak boleh asal tangkap. Itu yang saya maksudkan dengan 'polisi agama'. (Raperda ini) bahaya banget kalau sampai disahkan," ujarnya.

Dalam kurun waktu yang lebih panjang, raperda dapat dilihat sebagai benih negara syariah yang selama ini digembar-gemborkan kelompok-kelompok tertentu. "Ini benih 'negara syariah' yang mengancam idoelogi NKRI," ungkapnya.

Rekomendasi