Jangan Jadikan MK Sebagai 'Mahkamah Kliping'

| 21 Jun 2019 21:45
Jangan Jadikan MK Sebagai 'Mahkamah Kliping'
Sidang lanjutan sengketa Pilpres (Ahmad/era.id)
Jakarta, era.id - Saksi ahli yang dihadirkan tim hukum Jokowi-Ma'ruf, Edward Omar Sharif Hiariej atau dikenal dengan Eddy Hiarjie menyinggung soal tautan berita digunakan tim hukum Prabowo-Sandi dalam membingkai gugatan sengketa pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Meski dalam beberapa pasal mengakomodir tautan berita sebagai alat bukti, tapi itu belum cukup untuk menambahkan keyakinan MK dalam mencari kebenaran materiil. Namun, kata dia, pencarian kebenaran tidak berarti menggunakan berita media sebagai penguat bukti dalam sengketa Pilpres 2019.

"Ada benarnya apa yang dikemukakan oleh Kuasa Hukum Pemohon, bahwa MK bukanlah Mahkamah Kalkulator hanya terkait perselisihan hasil perhitungan suara," katanya, dalam sidang di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Jumat (21/6/2019).

"Namun hendaknya juga MK jangan dijadikan Mahkamah Kliping atau Mahkamah Koran yang pembuktiannya hanya didasarkan pada kliping koran atau potongan berita," lanjutnya.

Guru Besar Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) ini bilang pembuktian materill dalam sengketa MK harus memenuhi beberapa unsur. Pertama, pemohon harus membuktikan ada kecurangan secara terstruktur, sistematis dan masif kepada majelis hakim.

"Kedua, kecurangan secara terstruktur, sistematis dan masif tetap dalam bingkai perselisihan hasil suara. Ketiga, seberapa signifikan kecurangan secara terstruktur, sistematis dan masif terhadap selisih jumlah suara," tuturnya.

Sehingga menurut Eddy, untuk membuktikan adanya kecurangan yang terstruktur, sistematis dan juga masif dalam pemilu sangatlah rumit. Terlebih apabila bukti-bukti yang diajukan hanya berupa link berita. 

Jika diingat sebelumnya, Ketua Tim Hukum Badan Pemenangan Nasional (BPN) Bambang Widjojanto berharap banyak dalam gugatan sengketa hasil Pilpres 2019. Dirinya yakin Mahkamah Konstitusi (MK) dapat menjaga marwahnya untuk memutuskan gugatan dengan adil dan tidak sekedar hitung-hitungan saja. 

Maksudnya, Bambang tak ingin MK hanya menjadi mesin penghitung atau kalkulator ketika membahas syarat selisih perolehan suara dengan prosentase tertentu antar pasangan calon (ambang batas selisih perolehan suara tertentu).

"Kami mencoba mendorong MK bukan sekadar Mahkamah Kalkulator yang bersifat numerik, tapi memeriksa beratap kecurangan itu sudah semakin dahsyat," kata Bambang di Gedung MK, Jakarta Pusat, Jumat (25/5).

 

Rekomendasi