Dalam pemerintahan, lazimnya, kekuasaan dibagi ke dalam tiga fungsi. Seperti diutarakan John Locke dalam Two Treaties of Government, mengusulkan, kekuasaan negara terdiri dari: fungsi legislatif, fungsi eksekutif, dan fungsi federatif.
Gagasan yang kemudian disempurnakan Montesquieu itu mengklasifikasikan kekuasaan negara ke dalam tiga cabang, yakni, kekuasaan legislatif sebagai pembuat undang-undang (UU), kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan UU, dan kekuasaan untuk menghakimi atau yudikatif.
Hal itu sejalan dengan penegakan prinsip kedaulatan rakyat yang dipahami sebagai prinsip checks and balances. Istilah tersebut merupakan prinsip saling mengimbangi dan mengawasi antarcabang kekuasaan.
Dalam konteks kekuasaan Negara, Presiden wajib memperhatikan betul suara DPR dalam hal fungsi legislasi, fungsi pengawasan terhadap jalannya pemerintahan dan fungsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Oleh karenanya perlu ada mekanisme hubungan yang lebih jelas antara lembaga Kepresidenan (eksekutif) dan DPR (legislatif) meupun lembaga Negara lainnya.
Agar kekuasaan tetap seimbang, dalam alam demokrasi dikenal dengan yang namanya oposisi. Secara umum, oposisi bisa diartikan sebagai partai penentang di dewan perwakilan yang menentang dan mengkritik pendapat atau kebijakan politik dari golongan yang berkuasa. Partai yang menjadi oposisi sudah pasti mereka yang kalah dalam Pilpres.
Dalam praktiknya, salah satu cara untuk menyeimbangkan dan mengawasi kekuasaan bisa lewat DPR. Oleh karena itu, agar fungsi kontrol tetap ada, peran oposisi bisa dibilang tidak boleh hilang.
Baru-baru ini santer terdengar bahwa Partai Gerindra, yang notabene partai yang kalah pada Pilpres 2024, mendapat tawaran posisi di pemerintahan untuk sejumlah politikus dari partai yang dipimpin oleh Prabowo Subianto itu. Majalah Tempo edisi 22 Juni mewartakan bahwa di kalangan internal Gerindra muncul istilah "212" yang menjurus kepada komposisi pembagian "kue".
Istilah 212 dalam laporan Tempo merujuk kepada posisi dua kursi menteri, satu kursi Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan dua jabatan di Dewan Pertimbangan Presiden. Tawaran semacam ini juga disodorkan ke Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional yang sebelumnya merupakan partai koalisi Gerindra. Apabila hal ini terlaksana, maka koalisi pemerintah akan memiliki kekuatan mutlak tanpa oposisi.
Menurut penghitungan sementara, seperti ditulis Tempo edisi 29 Juni (2019), gabungan partai koalisi pemerintah memegang 349 kursi Dewan Perwakilan Rakyat. Jika Gerindra bergabung, kekuatan bertambah menjadi 427 kursi. Kemudian bila Demokrat dan Partai Amanat Nasional merapat, koalisi pemerintah bakal menguasai 525 dari 575 kursi DPR. Artinya oposisi hanya ditempati oleh Partai Keadilan Sejahtera.
Setelah wacana rekonsiliasi bergulir lalu mendapat reaksi publik. Untungnya wacana Gerindra masuk ke koalisi pemerintahan memudar.
Dewan Penasihat DPP Partai Gerindra Raden Muhammad Syafi'i menegaskan, mayoritas kader Gerindra ingin tetap menjadi oposisi.
"Ketika kita memilih oposisi kecenderungan kader arahnya sama, memilih menjadi oposisi," ujar Syafi'i, Senin(1/7/2019).
Menurutnya, Partai Gerindra sudah terbiasa menjadi oposisi. Sehingga perdebatan mengenai arah partai tidak alot.
Sejak berdirinya Gerindra sampai saat ini selalu menjadi oposisi pemerintah. Di antaranya pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Budiono periode 2009-2014, lalu pada periode Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla pada periode 2014 sampai sekarang.
Selain itu, Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Uno yang mendampingi Prabowo dalam Pilpres 2019 mengisyaratkan akan menjadi oposisi pemerintahan. Isyarat itu disampaikan Sandi dalam video yang diunggah di akun instagram pribadinya
A post shared by Sandiaga Salahuddin Uno (@sandiuno) on
Mulanya Sandi menyampaikan kekecewaannya atas kekalahan dalam Pilpres 2019 lalu. Ia mengamini bahwa dalam sebuah pemilihan pasti pihak yang tak terpilih akan merasa kecewa atas kekalahannya. Padahal niat mereka sejak awal ingin membangun negara ke arah yang lebih baik.
Atas dasar itulah Sandi mengaku tidak akan berhenti berjuang untuk membangun Indonesia. Namun perjuangan itu dalam bentuk yang berbeda.
"Perjuangan kita tidak berhenti sampai di sini dan perjuangan untuk memajukan bangsa dan negara tidak harus selalu dalam struktur pemerintahan," kata Sandi.
Menurut Sandi apabila ada mekanisme saling mengawasi, dan saling mengingatkan maka pemerintahan akan berjalan baik dan makmur.
"Jalannya kehidupan bangsa dan negara akan terarah semata-mata mencapai tujuan awal, itulah semangat dan niat luhur yang harus kita jaga bersama," ujarnya.