Membaca Risiko Jadi Oposisi

| 04 Jul 2019 08:30
Membaca Risiko Jadi Oposisi
Ilustrasi (Pixabay)
Jakarta, era.id - Menjadi oposisi bukanlah hal yang mudah. Salah-salah bisa masuk penjara. Kira-kira begitulah risikonya.

Pengamat Politik Survei Median Rico Marbun mengatakan, ancaman hukuman untuk oposisi adalah risiko yang harus dihadapi Menggunakan kata yang tidak tepat dalam menyampaikan kritik, rawan dipidanakan.

"Kalau mereka tidak berhati-hati dalam memilih frasa ungkapan dalam berkritik, apa yang diungkapkan kemungkinan besar bisa dikatagorikan pelanggaran tindak pidana, bisa pakai UU ITE, penghinaan terhadap lembaga negara," kata Rico dihubungi era.id beberapa waktu lalu.

Saat ini, wacana pembentukan oposisi mulai muncul. Apalagi, gelaran Pemilu Presiden 2019 sudah kelar dan dimenangkan oleh pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin yang didukung 10 partai. 

Nah, lawan mereka, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno juga berencana menjadi oposisi pemerintahan Jokowi-Ma'ruf. Tapi keputusan ini belum final, menunggu pembahasan di internal partai masing-masing. Prabowo dan Sandiaga diusung lima partai, Partai Gerindra, PKS, PAN, Partai Demokrat dan Partai Berkarya.

Kembali ke penjelasan Rico, perjuangan oposisi dalam menyuarakan aspirasinya sulit untuk memunculkan dampak yang signifikan. Karena menurutnya, sistem presidensial di Indonesia sangat powerful, berbeda dengan negara lain, misalnya Amerika Serikat. 

"Sekuat apapun oposisi kritik, saking kuatnya kritik, pengaruhnya besar, kalau bicara politik kan kekuatan wewenang. Misalnya DPR memutuskan tidak menyetujui anggaran pemerintah... maka yang terjadi bukannya enggak ada duit, Anda tetap bisa menggunakan anggaran tahun sebelumnya," katanya. 

Sistem yang ada di AS, saat Kongres atau DPR-nya tidak setuju dengan pemerintah, maka anggaran bisa dibekukan. Selain itu, bila keinginan kubu oposisi tidak ditanggapi dengan serius oleh Presiden, gaji pemerintah jadi tidak cair.

Meski demikian, menjadi oposisi di Indonesia bukanlah hal yang tidak mungkin. Oposisi bisa menjalankan fungsi oposisi untuk mengimbangi dan mengkritisi pemerintahan.

Menurut Rico apabila oposisi ingin didengar, maka kritiknya harus berpihak kepada rakyat langsung, yang isinya juga harus tepat tidak asal bunyi, dan argumennya harus jelas. 

"Pada akhirnya, peluang untuk melakukan perlawanan di parlemen sangat tergantung dari isu yang diangkat," katanya.

Pengamat Politik LIPI Aisah Putri Budiarti juga sepakat, oposisi bukanlah hal yang berat. Asalkan, aspirasi oposisi yang disodorkan jelas dan berbobot, maka hal itu akan didengar. 

"Masyarakat semakin cerdas, informasi terbuka, oposisi tidak hanya dilihat dari bunyi kritikannya, tapi juga harus ada substansi argumentasi yang kuat," katanya.

Senada dengan Rico, menurut Aisah, asalkan argumen yang dibangun oposisi kuat dan mewakili suara publik, maka mereka bisa menentukan arah kebijakan pemerintah. 

"Pasti didengar sih. Kalau konteksnya untuk pembuat kebijakan secara umum diputuskan dari suara mayoritas. Nah, suara publik sekarang juga bisa menentukan bagaimana arah politik di parlemen atau kebijakan," pungkasnya. 

Rekomendasi