"Hukuman yang dijatuhkan kepada Sdr Baiq Nuril Maknun menimbulkan simpati dan solidaritas yang meluas di masyarakat yang pada intinya berpendapat bahwa pemidanaan terhadap saudari Baiq Nuril Maknun bertentangan dengan rasa keadilan yang berkembang dalam masyarakat," tulis Jokowi seperti dalam suratnya yang ditujukan kepada Ketua DPR, Selasa (16/7/2019).
Dalam sejarah Indonesia, ada beberapa orang yang telah menerima amnesti karena merupakan narapidana kasus politik. Kini Baiq Nuril akan menjadi orang pertama yang menerima amnesti terkait kasus pidana, yakni UU ITE.
Amnesti menjadi opsi paling rasional dan memungkinkan secara hukum untuk menyelamatkan Baiq Nuril. Presiden Jokowi tidak ragu menggunakan hak prerogatifnya itu terkait kasus pelecehan seksual yang dialami Baiq Nuril.
Amnesti yang dimohonkan Baiq Nuril merupakan upaya hukum luar biasa dengan memberikan, pengampunan atau penghapusan hukuman dari kepala negara kepada seseorang atau sekelompok orang yang telah melakukan tindak pidana tertentu. Pemberian amnesti biasanya diberikan kepada tahanan dalam kasus-kasus politik. Aturan amnesti juga diatur secara tegas dalam Pasal 14 UUD 1945.
"Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat," bunyi ayat 1 dan 2.
Sedangkan dalam UU Darurat No 11/1954 tentang Amnesti dan Abolisi, menyebutkan akibat dari pemberian amnesti, maka semua akibat hukum pidana terhadap orang-orang yang diberikan amnesti dihapuskan. Amnesti juga bisa diberikan presiden kepada seseorang tanpa harus pengajuan terlebih.
Marwan dan Jimmy dalam Bukunya bertajuk Kamus Hukum menjelaskan Amnesti adalah "pernyataan umum yang diterbitkan melalui atau dengan undang-undang tentang pencabutan semua akibat dari pemindanaan suatu perbuatan pidana tertentu atau satu kelompok perbuatan pidana."
Dulu sebelum amandemen UUD 1945, grasi, rehabilitasi, abolisi dan amnesti menjadi hak absolut Presiden. Setelah amandemen, pemberian grasi, rehabilitasi, abolisi dan amnesti oleh presiden harus dengan pertimbangan MA atau DPR. Ketentuan itu telah diubah dengan tujuan untuk meningkatka pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan oleh presiden, seperti dirangkum era.id dari lama hukumonline.com.
Jika dirunut, sejarah pemberian amnesti di Indonesia masih bisa dihitung jari. Bahkan cuma beberapa masa kepemimpinan di Indonesia yang tercatat pernah memberikan amnesti.
Di mulai dari zaman Presiden pertama RI Soekarno misalnya, beliau menerbitkan amnesti dan abolisi untuk orang-orang yang terlibat dalam pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan. Keputusan itu tercatat dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 303 tahun 1959 pada 28 November 1959.
Kemudian pada masa orde baru amnesti juga pernah diberikan oleh Presiden Soeharto. Menurut catatan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dalam buku Timor Timur (1983) Soeharto pernah memberikan amnesti dan abolisi kepada para pengikut gerakan Fretilin di Timor Timur. Keputusan itu diteken Soeharto lewat Keppres Tahun 1977.
Pasca orde baru runtuh, di era reformasi beberapa Presiden juga pernah mengeluarkan amnesti. Seperti misalnya Presiden Baharudin Jusuf Habibie yang memberikan amnesti kepada aktivis pro-demokrasi, yakni Sri Bintang Pamungkas dan Muchtar Pakpahan.
Kemudian Presiden Gus Dur juga pernah melakukan hal serupa. Ia memberikan amnesti kepada Ketua Partai Rakyat Demokratik (PRD), Budiman Sudjatmiko. Kala itu Budiman pernah dipenjara karena kasus-kasus politik dengan melawan Penguasa Orde Baru pada waktu itu, salah satu kasusnya Budiman Sudjatmiko dianggap menjadi dalang kerusuhan peristiwa 27 Juli 1996.
Pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tercatat tak pernah mengeluarkan amnesti kepada siapapun. Hanya saja, SBY pernah berencana memberikan amnesti dan abolisi untuk Presiden Soeharto. Namun tak pernah terealisasikan.
Meskipun begitu, pada 2012, SBY pernah tercatat memberikan grasi 5 tahun bagi terpidana kasus narkoba asal Australia, Schapelle Corby. Tetapi pemberian grasi tersebut dinilai sebagai kebijakan yang kontradiktif oleh sejumlah pihak.
Bahkan di awal pemerintahan, Presiden Joko Widodo baru sekali menggunakan haknya untuk memberikan amnesti kepada Din Minimi, narapidana bekas anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 2016. Sejak saat itu Jokowi belum pernah lagi memberikan amnesti. Ia hanya pernah memberikan beberapa grasi, kepada mantan Ketua KPK Antasari Azhar yang jadi terpidana kasus pembunuhan Direktur PT Rajawali Putra, Nasrudin Zulkarnaen, pada 2017.