Di Jakarta, burung betet masih ditemukan terbang bebas. Komunitas pemantau burung Jakarta Birdwatcher Society (JBS) menemukan populasi burung betet biasa (psittacula alexandri) di enam ruang terbuka hijau (RTH) di Jakarta.
Keenam tempat itu adalah Monumen Nasional (Monas), Taman Impian Jaya Ancol, Senayan, Taman Margasatwa Ragunan, kawasan Menteng, dan kawasan Manggala Wanabhakti.
Betet adalah spesies burung berparuh bengkok mirip nuri dan kakatua. Ukurannya 34-36 centimeter dengan warna tubuh dominan hijau dan rona merah muda di dada.
Secara berkala, JBS melakukan pemantauan spesies burung-burung yang hidup di perkotaan Jakarta agar bisa diketahui kelestarian spesiesnya.
Namun, pemantauan bukan dilakukan dengan pendekatan populasi, melainkan spesies sehingga JBS hanya bisa memperkirakan, tidak bisa memastikan jumlah populasi yang masih bertahan.
"Kalau untuk betet masih cukup banyak populasinya di Jakarta. Mungkin karena tidak sering diburu, apalagi jika lokasinya di RTH yang lumayan ramai, misalnya di Monas," kata Koordinator JBS Ady Kristanto, dilansir Antara, Senin (22/7/2019).
Meski demikian, Ady mengingatkan populasi betet yang masih cukup banyak sewaktu-waktu bisa berkurang drastis jika tidak ada kesadaran dan kepedulian masyarakat.
Sementara, untuk burung yang lain, seperti burung kacamata biasa atau pleci (zosterops palpebrosus) dulu sangat melimpah populasinya di 10 RTH di Jakarta. Namun, kini sudah jarang karena terjadi perburuan. Demmikian juga jalak putih (Sturnus melanopterus) yang kian jarang terlihat.
Dalam Jurnal Penelitian Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi LIPI yang ditulis W.Widodo pada 2013, disebutkan burung adalah indikator yang baik untuk menilai biodiversitas dalam suatu wilayah, karena mereka dapat menempati habitat yang luas juga mendekati puncak dari rantai makanan.
Kemudian, lanjut jurnal yang dipublikasikan di jurnal.uns.ac.id ini, setidaknya ada 8 hal bahwa burung dinyatakan berperanan sebagai spesies indikator lingkungan, yaitu:
1. Burung mudah dideteksi dan diobservasi;
2. Taxonomi burung sudah mudah diidentifikasi di lapangan;
3. Burung tersebar luas dan menempati habitat dan relung ekologi yang bervariasi;
4. Distribusi, ekologi, biologi dan sejarah hidup burung diketahui dengan baik dibanding taxa yang lain;
5. Burung dalam rantai pakan menempati posisi pada bagian top sehingga lebih sensitif terhadap perubahan adanya kontaminasi lingkungan;
6. Banyak burung berfungsi sebagai polinator dan penyebar bijian tanaman;
7. Tehnik survei burung lebih simple;
8. Untuk memonitornya relatif lebih tidak mahal daripada taxa lain seperti reptil dan mamalia.
Sementara, dilansir dari berita 'Ruang Terbuka Hijau, Penting untuk Manusia dan Kehidupan Burung' di mongabay.co.id , Ani Mardiastuti, Kepala Bagian Ekologi dan Manajemen Satwa Liar, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Institut Pertanian Bogor, bersama beberapa peneliti di tahun 2014 telah menerbitkan panduan praktis menentukan kualitas ruang terbuka hijau. Burung dijadikan sebagai indikatornya.
Di dalam buku itu, jenis burung yang teridentifikasi di suatu ruang terbuka hijau akan dikelompokkan berdasarkan karakternya seperti pakan, jenis penetap atau migran, teknik reproduksi, lokasi peletakan sarang, waktu aktif burung mencari makan, serta jenis habitat yang dihuni. Nantinya, ada nilai-nilai berdasarkan karakter burung yang hasilnya dapat menentukan kategori kualitas ruang terbuka hijau.
"Berdasarkan pengetahuan empiris, burung mudah 'bereaksi' terhadap habitatnya, sehingga burung dapat digunakan sebagai 'ukuran' baik tidaknya suatu habitat, termasuk habitat ruang terbuka hijau. Dengan kata lain, burung dapat digunakan sebagai indikator untuk menentukan kualitas ruang terbuka hijau di perkotaan," terang Ani.