Dalam urusan politik ada ungkapan terkenal yang bunyinya: 'tidak ada makan siang yang gratis'. Kutipan itu mungkin masuk akal. Pasalnya, hampir setiap aktivitas yang dilakukan politikus punya makna, baik tersirat maupun tersurat.
Melakukan sebuah pertemuan saja bisa ditafsirkan banyak arti, apalagi sambil makan siang. Kalau dua pimpinan partai pemenang Pemilu 2019 melakukan makan siang, tentu multitafsir.
Tentu ada basa-basi dalam pertemuan dua elite partai ini. Tapi, bukan tidak mungkin juga ada lobi politik di meja makan itu.
Pertemuan ini adalah lanjutan dari pertemuan Prabowo dan Presiden Jokowi beberapa waktu lalu di Stasiun MRT Lebak Bulus. Selain itu, agenda pertemuan Prabowo-Megawati ini dinilai sebagai lanjutan soal agenda rekonsiliasi kedua partai yang dari 2014 ini sudah berseberangan.
Lalu, seberapa efektif politik meja makan atau diplomacy culinary?
Dalam dunia politik ada istilah diplomacy culinary atau diplomasi kuliner. Menurut Sam Chappel-Sokol (juru masak di Gedung Putih Amerika Serikat dan yang mendefinisikan diplomasi kuliner), diplomasi kuliner adalah konsep dan praktek diplomasi yang menjadikan makanan dan masakan sebagai instrumen untuk meningkatkan interaksi dan kerja sama.
Sam adalah orang yang mendirikan situs culinarydiplomacy.com. Melalui situsnya itu, dijelaskan konsep diplomasi kuliner ini bekerja. Menurutnya, ketika orang duduk bersama di atas meja, lalu saling berbagi makanan seraya melakukan percakapan yang baik, hal itu berfungsi untuk memperkuat ikatan dan mengurangi pertentangan satu dengan yang lain.
Selain itu, diplomasi kuliner juga bisa diterapkan untuk diplomasi budaya. Sebab, dari sana ada transfer pengetahuan yang terkandung dalam sebuah makanan. Karena menurut Sam makanan adalah bagian dari budaya suatu negara.
Mereka yang berhasil dalam diplomasi kuliner
Salah satu orang yang pernah berhasil menerapkan praktek diplomasi kuliner adalah Presiden Joko Widodo. Mungkin bisa dibilang salah satu hal yang mengantarkan Jokowi jadi presiden adalah caranya menerapkan diplomasi kuliner.
Ketika menjadi Walikota Solo, ia menerapkan diplomasi kuliner ketika hendak memindahkan para pedagang kaki lima di Monumen Bajarsari ke tempat barunya yakni Pasar Klithikan Notoharjo, Semanggi.
Jokowi berhasil membujuk para pedagang untuk direlokasi ke Pasar Klithikan tanpa perlawanan. Malah ada spanduk yang menyatakan kesediaan pedagang untuk pindah. Yang Jokowi lakukan pada saat itu adalah berkunjung, mengundang makan, dan mendengarkan keinginan para PKL.
Sementara itu jika melihat perpolitikan internasional, yang berhasil mempraktekan diplomasi meja makan pada skala tersebut adalah Menteri Luar Negeri AS John Kerry. Ia pernah melakukan negosiasi dengan Menteri Luar Negeri Iran Mohammed Javad Zarid.
Diplomasi yang dihelat di Vienna itu, berlangsun selama 11 jam untuk membicarakan perihal pembuatan nuklir Iran. Kendati pembicaraan tersebut tidak melahirkan kesepakatan sesuai dengan keinginan AS pada saat itu, namun berkat diplomasi di atas meja makan dengan hidangan mahal Eropa ini, Zarif menjadi lebih terbuka kepada AS. Sajian makanan lezat itu mampu melunakkan hati seseorang bahkan mereka yang menaruh curiga sekalipun.