“Kita semangatnya sama antara DPR dengan KPU, KPK dan lembaga lainnya. Cuma terbentur lagi di situ dan pasti MA enggak bakal loloskan itu karena bertentangan dengan UU, pasti ada yang gugat,” kata Zainudin di Gedung DPR, Kompleks Parelemen, Senayan, Jakarta, Kamis (1/8/2019).
Dirinya merasa dilema apabila KPU tiba-tiba membuat aturan sendiri mengenai larangan koruptor menjadi calon kepala daerah. Sebab, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota tetap memperbolehkan siapa pun warga negara untuk menggunakan hak dipilihnya.
Menurut Zainudin, pihaknya juga sudah coba berimprovisasi membuat PKPU yang berbeda dengan norma yang ada di UU. Namun, begitu di judicial review (JR) masuk ke MA dan dibatalkan lagi. Kemudian, UU nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada waktu JR masuk ke MK dibatalkan.
“Jadi menurut saya kita agak dilema mau mengubah UU waktunya sudah mepet (dengan sisa masa jabatan anggota DPR) dan saya enggak yakin kalau kita mengubah satu pasal, kemudian hanya satu pasal itu. Pasti ada rembetannya lagi ke pasal lain,” tuturnya.
Selain itu, dirinya sempat mengusulkan agar eks koruptor yang nyaleg diumumkan ke publik oleh KPU. Sehingga, masyarakat mengetahui rekam jejak dari calon-calon anggota legislatif yang maju di daerah masing-masing.
“Jadi UU enggak dilanggar, PKPU enggak perlu diubah. Tapi dia secara sosial akan jadi beban kepada (calon) dan jadi pertimbangan publik. Karena publik kan enggak tahu,” jelasnya.
Hal senada juga disampaikan Wakil Ketua Komisi II Herman Khaeron yang menyetujui larangan bagi eks koruptor maju sebagai kepala daerah di Pilkada 2020. Terkait dengan payung hukumnya, dia menilai, yang paling dimungkinkan adalah dengan Perppu.
“Kalau melihat waktu memang yang memungkinkan Perppu. Kemudian, pembahasan itu harus menuju kepada revisi UU 10 tahun 2016, ini jadi butuh waktu. Baik untuk inisiatip pemerintah maupun nanti pembahasannya di DPR,” tutur Herman.
Seperti diketahui, Badan Pengawas Pemili (Bawaslu) mendukung KPU melarang eks koruptor maju sebagai kepala daerah di Pilkada 2020. Terkait hal ini, Bawaslu mendorong adanya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) sebagai terobosan.
Namun, kata Herman, disisa waktu masa jabatan anggota DPR, Perppu juga harus diusulkan terlebih dulu dan baru disetujui terhadap masa sidang selanjutnya. Menurutnya dalam posisi seperti itu, Perppu masih diterbitkan oleh presiden agar aturan tersebut bisa diberlakukan.
Herman menjelaskan, terkait dengan ajakan KPU agar masyarakat ikut mengusulkan revisi undang-undang Pilkada, untuk memasukkan larangan eks koruptor maju dalam Pilkada 2020 tidak lah tepat. Sebab, disisa masa jabatan anggota DPR periode 2014-2019 pembahasan ini memakan waktu.
“Ini kalau dalam kontek Pilkada serentak itu akan berlangsung pada tanggal 23 September 2020 dan ditarik mundur untuk batas waktu nanti mulai pendaftaran itu Maret. Rasanya tidak akan cukup karena prolegnas dan prioritas juga baru akan ditetapkan pada 2020,” jelasnya.