Penambahan Pimpinan MPR Disebut Tak Fungsional

| 21 Aug 2019 14:30
Penambahan Pimpinan MPR Disebut Tak Fungsional
Gedung parlemen (Mery/era.id)
Jakarta, era.id - Wacana penambahan pimpinan MPR jadi 10 kursi terus bergulir. Wacana ini bisa dilaksanakan bila ada revisi terhadap UU MD3 yang mengatur jumlah kursi pimpinan MPR. 

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fahri Hamzah tak sepakat dengan wacana ini. Kata dia, wacana ini hanya sebagai upaya simbolik keterwakilan partai politik di lembaga tersebut. Sebab, secara fungsional, tugas pimpinan MPR tak terlalu banyak.

"Kalau simbolik kan ya tidak rasional. Hanya simbolik supaya semua partai harus dalam kepemimpinan. Saya enggak tahu kalau itu. Tapi kalau (dari unsur) fungsional, enggak ada fungsinya gitu," tuturnya, di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (21/8/2019).

Fahri mengatakan, tugas MPR hanya ada tiga, yaitu melantik presiden, mengubah UUD dan mengganti presiden. "Nah, yang dua itu kan nyaris enggak ada. Berarti cuma sekali aja itu kepemimpinan MPR diperlukan, pada saat pelantikan (presiden), setelah itu selesai," kata dia.

Dengan demikian, dia menilai, tugas pimpinan MPR bersifat sementara. Hal ini berbeda dengan tugas pimpinan DPR dan DPD.

Tugas pimpinan DPR dan DPD, kata Fahri, bukan sekadar menerima tamu negara, tetapi juga rapat pimpinan (Rapim), dan rapat badan musyawarah (Bamus) yang setiap pekan dilaksanakan. 

"Jadi keanggotaan (MPR itu) permanen, tapi leadership-nya tidak permanen. Itu yang saya tangkap ruhnya pasca amandemen. Jadi tidak ada lagi kepemimpinan yang terlalu permanen. Tidak ada yang terlalu menuntut sikap permanen dari kepemimpinan MPR itu. Sebenernya," ucap Fahri.

Peneliti Senior Forum Masyarakat Perduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengatakan, kursi pimpinan MPR menjadi menarik bagi politikus karena tugasnya minimalis tapi fasilitasnya sama dengan lembaga negara lain. 

Lucius pun mengkritisi kerja pimpinan MPR periode 2014-2019. Kata dia, tak ada yang bisa dibanggakan dari kerja MPR kala itu. Sebab, lanjut Lucius, apa yang mereka kerjakan tidak sesuai dengan yang diharapkan.

"Misalnya sosialisasi empat pilar, itu pun saya harus katakan gagal. Selama ini keluarkan uang banyak untuk sosialisasi empat pilar tapi hasilnya berantakan,” kata Lucius,

Seperti diketahui, wacana penambahan pimpinan MPR ini pertama kali bergulir dari PAN. Atas dalih tidak ingin adanya persaingan memperebutkan kursi pimpinan, wacana ini digulirkan dengan tujuan mengakomodir keterwakilan semua fraksi DPR dan DPD.

Dampaknya, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) terkait dengan pimpinan MPR juga harus kembali direvisi untuk memuluskan wacana tersebut.

Sebelumnya, MPR telah menambah tiga kursi pimpinan sesuai dengan berlakunya revisi terbatas pasal 15 ayat (1) UU MD3. Bunyinya, pimpinan MPR periode 2014-2019 terdiri atas satu orang ketua dan tujuh orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota MPR. 

Dalam pasal 427C ayat (1) huruf a UU MD3 menyebut susunan mekanisme pemilihan pimpinan MPR masa keanggotaan MPR setelah hasil pemilihan umum tahun 2019 dilaksanakan dengan ketentuan bahwa pimpinan MPR terdiri atas satu orang ketua dan empat orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota MPR.

Lima pimpinan MPR awal, diisi Zulkifli Hasan (Ketua/PAN), dan empat wakil, Hidayat Nur Wahid (PKS), EE Mangindaan (Partai Demokrat), Oesman Sapta Odang (DPD), dan Mahyudin (Partai Golkar). Kursi tersebut ditambah tiga untuk Ahmad Basarah (PDI Perjuangan), Muhaimin Iskandar (PKB) dan Ahmad Muzani (Gerindra).

 

Tags : mpr
Rekomendasi