Koordinator Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz mengatakan, sebagai lembaga penegak hukum menyeret KPK masuk ke ranah politik adalah sesuatu yang menyalahi aturan. Apalagi, hingga saat ini kontrak tersebut tidak jelas apa saja yang tertuang di dalamnya.
Meski begitu, Donal menilai, apapun yang tertuang di dalam kontrak tersebut mengarah pada pelemahan KPK sebagai lembaga independen. Di mana DPR dapat mengintervensi kerja KPK dengan menggunakan kontrak tersebut.
Donal meyakini, salah satu yang tertuang di dalam kontrak berkaitan dengan UU KPK baru yang saat ini tengah menjadi polemik, karena dianggap melemahkan KPK. Kontrak ini dinilai, sebagai upaya menggiring agar komisioner terpilih menyetujui adanya UU KPK baru.
“Kan kita tidak diketahui apa saja poin yang menjadi kontrak politik. Harus setuju revisi UU KPK itu salah satu yang kita dengar, tapi yang lain-lain kan kita tidak tahu,” katanya, ketika dihubungi era.id, di Jakarta, Rabu (11/9/2019).
Hal senada juga disampaikan, pakar komunikasi politik Universitas Bunda Mulia Silvanus Alvin, ia melihat kontrak politik antara capim KPK dengan DPR merupakan salah satu bentuk pengebirian awal yang dilakukan bagi para calon komisoner lembaga antirasuah tersebut.
Apalagi tak menutup kemungkinan komisoner KPK, kata Alvin, nantinya juga akan mengawasi kerja para anggota dewan yang terhormat. Namun dengan kehadiran kontrak semacam ini, KPK tidak ada kekuatan dan suka tidak suka harus patuh, karena tidak ada pilihan lain, sehingga membuat langkah KPK semakin jauh dari tujuan pemberantasan korupsi.
“Belum menjabat tapi kaki, mata dan telinga sudah dihabisi. Tangan dibuntungi, mata dicolok, mata ditutup. Calon komisoner ini nanti tidak lebih dari pimpinan boneka. Tidak akan bisa melakukan fungsi controling yang benar,” jelasnya.
Alvin melihat, kontrak politik ini tidak hanya membatasi gerak lembaga antirasuah, namun juga berdampak terhadap kinerja KPK ke depan. “Pekerjaan KPK tidak akan ada yang selesai. Adanya kontrak ini seakan-akan membuat KPK di bawah DPR. Tidak lagi independen. KPK kan harusnya menjadi lembaga super body,” jelasnya.
10 orang Capim KPK yang akan menjalani fit and proper test, menurut Alvin, harus berani bersuara mentukan sikap. Jangan sampai karena menginginkan posisi lalu tunduk dengan kontrak politik tersebut.
“Mereka harus menyatakan kalau KPK harus independen. Jangan sampai mereka mau menjadi boneka dari para anggota DPR. Nanti akan kelihatan, yang mau tunduk sudah bisa kita duga memang ada persekongkolan, atau memang titipan,” ucapnya.
Sebelumnya, DPR memutuskan untuk membuat kontrak politik terhadap capim KPK. Surat pernyataan itu berisi komitmen seluruh calon selama menjalani fit and proper test mengenai kemungkinan apabila terpilih sebagai pimpinan KPK.
Bahan pembicaraan selama fit and proper test sebagai kesepakatan antara DPR dengan capim KPK. Apapun yang nanti disampaikan capim dan itu dianggap sebagai komitmen yang akan dituangkan secara tertulis dalam kontrak politik.
Anggota Komisi III, Arsul Sani menjelaskan, lahirnya kontrak politik ini berangkat dari tidak inginnya DPR mengulang kesalahan yang sama terkait dengan komitmen KPK.
“Kami tidak mau lagi di fit and proper test bilang setuju, bahkan di awal masa jabatan bilang setuju. Tapi begitu menggelinding suatu isu mendapatkan pressure dari publik dan (masyarakat) sipil dan ingin populer atau tidak ingin kehilangan popularitas, kemudian berbalik enggak setuju,” tutur Arsul.