Capim KPK Hampir Bulat Setujui Revisi UU

| 12 Sep 2019 10:08
Capim KPK Hampir Bulat Setujui Revisi UU
Capim KPK Nawawi Pomolango dalam fit and proper test (Mery/era.id)

Jakarta, era.id - Lima calon pimpinan (capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan fit and proper test. Dalam agenda tersebut, hampir semuanya menyetujui revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.

Satu dari lima capim, I Nyoman Wara yang jadi peserta terakhir fit and proper test hari pertama memilih untuk tidak menanggapinya. Pada prinsipnya, Norman berkeyakinan lembaga antirasuah harus patuh terhadap UU.

"Mengenai setuju atau tidak setuju, maka kewajiban selaku pimpinan adalah menjalankan tugas dan kewenangan UU KPK," kata Nyoman di Komisi III DPR, Jakarta, Rabu (11/9) malam.

Saat ini, menurut Nyoman, ranah mengenai revisi UU tersebut ada di tangan DPR dan juga pemerintah. Nyoman lantas menyerahkan keputusan akhirnya kepada pemerintah dan DPR.

"Karena kewenangan revisi atau tidak revisi ada di DPR. Kalaupun ada usulan boleh-boleh saja," tuturnya.

Sementara, empat peserta fit and propert test lain selain Nyoman: Nawawi Pomolango, Lili Pintauli Siregar, Sigit Danang Joyo, dan Nurul Ghufron sependapat. Mereka berkeyakinan harus ada perubahan terhadap UU 30/2002.

Namun, tidak semua poin dalam revisi ini diterima para capim KPK. Salah satu yang paling jadi sorotan adalah soal kewenangan KPK dalam menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

Capim KPK, Nawawi Pomolango mengaku tidak masalah dengan revisi UU 30/2002. Ia menilai, KPK perlu memiliki kewenangan menerbitkan SP3. Sebab, Ia pernah menemukan seorang yang menjadi tersangka dalam kasus korupsi. Namun kasusnya mandek selama tiga tahun.

Kemudian dia juga menyoroti ketentuan pasal 40 UU KPK yang pada intinya menyatakan lembaga antirasuah itu tidak memiliki kewenangan menerbitkan SP3. Pasal tersebut tidak memiliki landasan filosofis. Kewenangan SP3 sejalan dengan asas kepastian hukum.

Selain itu, Ia juga setuju dengan poin dibentuknya dewan pengawas. Sebab, dirinya pernah mengadili kasus di mana alat bukti rekaman penyadapan tidak berkaitan dengan tindak pidana korupsi.

Gedung KPK (Tsa Tsia/era.id)

Sementara, dalam draf revisi UU KPK, Nawawi menilai, KPK tidak perlu melakukan koordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam hal penuntutan. Hal itu, menurut dia, dapat mengurangi independensi KPK.

"Penuntutan koordinasi dengan Kejagung ini pikir-pikir dulu. Bagaimana independensi KPK kalau harus koordinasi dengan Kejaksaan Agung," ucapnya.

Capim KPK, Lili Pintauli Siregar mengungkap, perlu adanya revisi. Salah satunya, poin SP3 dalam revisi UU 30/2002 mengenai Komisi Pemberantasan Korupsi. Menurut dia, SP3 perlu diadakan dalam lembaga antirasuah, seperti yang telah diterapkan lembaga penegak hukum lainnya.

"Saya pertama melihat yang setuju adanya SP3. Karena ini juga tidak menutup kalau ada bukti lain itu bisa dibuka kembali. Walaupun ini berlaku lembaga penegak hukum lain, misal kejaksaan dan kepolisian juga KUHAP mengatur SP3 tersebut," kata Lili.

Angin segar koruptor

Lebih lanjut, eks Komisioner Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) ini berpandangan, SP3 akan jadi jalan mengakhiri masalah-masalah tersangka korupsi yang kasusnya berlanjut tanpa kepastian hukum yang jelas.

"Saya pikir ini menjawab kegelisahan mereka yang begitu lama jadi tersangka. Rekening terblokir, enggak bisa keluar negeri, usaha tidak berjalan, macet bank, ini bisa menjawab karena seharusnya pemberantasan korupsi tidak bikin macet hal lain," tuturnya.

Meski setuju dengan revisi UU KPK poin SP3, namun Lili berujar, dirinya tidak sependapat dengan dibentuknya dewan pengawas.

"Kalau dewan pengawas, saya tidak setuju kalau berhubungan dengan teknis. Karena teknis banget kalau saya lihat dari media. Bagaimana mungkin soal perizinan itu karena ini lembaga unik, KPK kan lembaga unik yang beda dengan lain," ucap Lili.

Lili Pantauli Siregar dalam fit and proper test (Mery/era.id)

Sementara itu, capim KPK Sigit Danang Joyo menilai, revisi UU tersebut diperlukan, sejauh arahnya untuk penguatan pemberantasan korupsi. Salah satu contoh upaya penguatan KPK yaitu dengan memberikan kewenangan SP3 kepada KPK. "Tentu saya sangat setuju kalau itu dibuka ruang SP3," kata Sigit.

Namun, Sigit berpandangan, SP3 tersebut agak berlebihan jika dibuka ruang terlalu lebar. Menurut dia, ketika kewenangan SP3 dibuka terlalu lebar, maka hal tersebut membuat penyidik bersikap hati-hati dalam menentukan tersangka dengan dua alat bukti yang kuat.

"Jadi saya setuju dibuka ruang SP3 tapi pembukaan ruang ini betul-betul sangat selektif. Selektifnya apa, misalkan tersangkanya meninggal atau berdasarkan putusan pengadilan, itu baru boleh," tuturnya.

Capim lain, Nurul Ghufron melihat wacana kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengeluarkan SP3 adalah sebuah keniscayaan atau pasti terjadi.

Ghufron mengatakan, meski di negara bertuhan sekalipun, sistem peradilan tetaplah bersifat manusiawi, di mana aparat penegak hukum bisa saja melakukan kesalahan dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka saat proses penyidikan.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Negeri Jember itu mengaku sejak lama menyoroti hal ini. Gagasan soal konsep peradilan manusiawi itu bahkan telah ia tuangkan ke dalam tulisan sejak tahun 2004.

"Jadi tidak karena kaitan Revisi UU KPK ini, tidak karena kaitan mau capim atau apapun," terangnya.

Presiden setuju revisi

Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani surat presiden (surpres) revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK). Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengungkap, surpres itu sudah dikirim ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Sebelumnya, Jokowi menyatakan bakal segera mempelajari Daftar Isian Masalah (DIM) revisi UU tentang KPK. DIM tersebut sudah diterimanya. Setelah dipelajari, Jokowi akan menyerahkannya kepada DPR untuk ditindaklanjuti.

"Besok saya sampaikan, nanti saya sampaikan materi-materi apa yang perlu direvisi," ujar Jokowi.

Presiden Jokowi (Instagram/jokowi)

Menurut dia, revisi ini jangan sampai melakukan pembatasan yang tidak perlu sehingga menganggu independensi KPK. "Intinya ke sana, makanya saya mau lihat dulu, nanti satu per satu kita pelajari, putuskan, dan saya sampaikan," tuturnya.

Seperti diketahui, pada 5 September, DPR menyetujui usulan revisi dua UU yang diusulkan Badan Legislatif (Baleg) DPR, yaitu RUU tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) dan RUU Perubahan atas UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).

Keputusan ini diambil dalam rapat paripuna yang hanya dihadiri 70 orang anggota dewan, itu pun dihitung berdasarkan pandangan mata dari 560 anggota DPR. Rapat tersebut dipimpin Wakil Ketua DPR Utut Adianto.

Rekomendasi