Jakarta, era.id - Kasus intimidasi yang dialami mahasiswa Papua di Surabaya membuat pemerintah putar otak. Eksklusivitas akan dihapus. Inklusivitas akan diciptakan. Caranya, pemerintah akan menghapus keberadaan asrama daerah. Tepatkah langkah ini? Bagaimana dampak bagi mahasiswa daerah di perantauan?
Dalam sebuah kesempatan, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto menyampaikan telah memberi rekomendasi pada Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo untuk mengakomodir rencana ini. Sederhananya, tak akan ada lagi Asrama Papua, Asrama Ambon, Asrama Sumatera atau Asrama Kalimantan. Yang ada, Asrama Nusantara.
Rencana ini dibangun untuk menghindari eksklusivitas berlebih antara mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Apalagi, kasus kerusuhan di wilayah Papua dan Papua Barat berawal dari insiden rasis yang dialami oleh mahasiswa yang menempati Asrama Mahasiswa di Kota Surabaya. Dengan melebur putra-putra daerah, inklusivitas diharap tercipta.
"Gubernur bersatu membiayai bersama-sama. Nanti ada asrama Nusantara 1, Nusantara 2, Nusantara 3. Jadi anak-anak tercampur disitu. Tak ada kemudian ekslusif, ini anak Papua, ini anak Sumbar sendiri. Ini yang tidak benar," kata Wiranto dalam konferensi pers di Kantor Kemenkopolhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Senin (9/9).
Kami menyambangi salah satu asrama daerah di Jakarta Pusat. Bukan asrama Papua, melainkan Asrama Mahasiswa Sulawesi Selatan Tomanurung. Asrama ini terletak di Jalan Talang, Menteng, Jakarta Pusat. Rumah tiga lantai bercat kuning itu berisi sepuluh kamar, dengan ruang tamu yang tersedia di tiap-tiap lantai. Tak banyak penghuni yang bisa kami temui dari kunjungan siang tadi. Terhitung, hanya tiga motor terparkir di asrama.
Salah satu penghuni, Arwan Arnold mengatakan telah lebih dari satu tahun menempati asrama ini. Dengan rekomendasi dari sang senior, Arwan yang berkuliah di Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan pun pindah dari tempat kost sebelumnya di daerah Ciputat. Menurutnya, banyak manfaat yang ia dapat dari tinggal di asrama.
"Asrama ini kan memang untuk mahasiswa seperti saya. Selain itu, banyak teman-teman satu provinsi. Di sini juga bisa mengurangi beban biaya hidup. Daripada ngekos, kan mahal. Namanya kita anak rantau," kata Arwan kepada era.id di lokasi, Jumat (13/9/2019).
Arwan Arnold
Solusi tepat?
Soal wacana Asrama Nusantara yang digagas Wiranto, Arwan mengaku keberatan. Ia tak yakin wacana peleburan dan inklusivitas itu adalah solusi tepat menghindari perpecahan. Menurutnya, perbedaan pandangan, ciri khas dan karakter masing-masing anak rantau --yang dibawa dari daerah-- akan menyulitkan peleburan itu.
"Kalau terkumpul dari tiap provinsi memang bagus, bisa melebur dan tak terkotak-kotakkan. Tapi, kita lihat juga, berpotensi muncul masalah lain enggak? Mereka bisa saling bersaing mengungguli budayanya masing-masing. Jadi enggak menyatu," tutur Arwan.
Arwan bukannya tak ingin membaur. Ia menuturkan, seluruh penghuni terbuka dengan keberadaan mahasiswa dari daerah lain. Bahkan, di asrama ini mereka kerap menerima teman-teman dari latarbelakang berbeda untuk sekadar main, bahkan menginap sementara waktu. Hanya saja, Arwan menyoroti pengelolaan asrama nantinya.
Bukan apa-apa, asrama yang Arwan tempati bersama rekan-rekannya saat ini saja terbengkalai. Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan sudah lama lepas tangan dari pengelolaan asrama. Arwan khawatir, peleburan akan berbuntut pada aksi saling lempar antara pemerintah daerah. "Asrama ini banyak yang rusak fasilitasnya. Dari segi toilet, jendelanya juga rusak," tuturnya.
"Bahkan, asrama ini enggak dihuni sama mahasiswa saja. Ada orang tua lho di sini. Saya enggak tahu, mungkin itu kerabat dari mahasiswa atau bagaimana. Karena enggak ada kejelasan pengelola."
Kondisi Asrama Mahasiswa Sulawesi Selatan Tomanurung
Asrama memang terlihat terbengkalai. Menurut pantauan kami, banyak kerusakan konstruksi rumah, mulai dari langit-langit yang dipenuhi lubang hingga lantai yang rusak. Pintu masuk asrama konon tak pernah dikunci dan kerap dibiarkan terbuka. Sepatu-sepatu terlihat di depan masing-masing pintu kamar.
Ruang tamu asrama ini hanya dilengkapi sofa dan meja kecil. Sudut sebelah kiri jadi perhatian kami, sudut berisi meja dan kursi yang konon jadi tempat berkumpul para penghuni.
Karenanya, Arwan menyoroti kebijakan ini. Jika benar akan melebur anak-anak daerah, ia meminta pemerintah membangun sistem yang baik dalam kebijakan agar tak ada aksi saling lempar antar-pemerintah daerah soalpengelolaan asrama mahasiswa daerah. sebagaimana terjadi di tempat ini. Menurut Arwan, tak adanya bantuan pemerintah membuat mereka harus iuran Rp100 ribu untuk biaya air dan listrik.
"Lebih baik tetap asrama per provinsi saja. Tapi kita juga butuh perhatian pemerintah untuk merenovasi. Satu provinsi saja kondisinya begini, bagaimana kalau banyak provinsi. Kita minta renovasi ke siapa nanti?"
Membaur mahasiswa daerah
Dari sisi lingkungan sekitar, Suryanti, Sekretaris RT 06 RW 02, Kelurahan Pegangsaan, Kecamatan Menteng bilang, kehadiran asrama daerah di wilayahnya tak menjadi gangguan bagi warga sekitar. Menurut Suryanti, beberapa penghuni asrama bahkan ikut meramaikan lomba 17 Agustus.
"Beberapa pernah ikut lomba 17 Agustusan. Tapi kalau nimbrung bapak-bapak ngobrol bareng, itu enggak. Mereka kalau nongkrong ya di sana saja. Main kartu atau apa," tutur Suryanti.
"Kita kalau ke sana paling cuma waktu fogging. Kalau ke sana paling cuma ketemu sama dua atau tiga orang, mungkin karena mereka udah berangkat ke kampus masing-masing."
Suryanti
Hanya saja, yang jadi catatan baginya adalah pendataan terhadap penghuni asrama. Menurut Suryanti, para penghuni tak melaporkan identitas penghuni yang tinggal. Hal ini menurut Suryanti perlu diperbaiki. Kesadaran para penghuni harus didorong dengan sosialisasi.
Terkait wacana peleburan oleh pemerintah, Suryanti menyambut baik. Seperti masyarakat toleran lain, Suryani turut mengidamkan persatuan dalam keberagaman.
"Pendapat saya pribadi sih lebih baik digabung. Jadi kita bisa saling menghormati suku lain, terbuka, enggak eksklusif. Soalnya kalau cuma satu provinsi aja seperti terkurung, enggak mengenal budaya lain," ucap dia.