Jakarta, era.id - Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah menyepakati rancangan kitab undang-undang pidana (RKUHP) pada rapat pengambilan keputusan tingkat I. Selanjutnya, RKUHP akan dibawa ke Rapat Paripurna untuk disah-kan menjadi undang-undang (UU).
Keputusan ini diambil saat rapat kerja Komisi III dengan Menkumham bersama panja DPR dan Panja Pemerintah, di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Rabu (14/9).
Tak ada dinamika atau tarik menarik urat syaraf saat kedua belah pihak membahasa revisi KUHP. Bahkan tak sampai 20 menit pemerintah melobi fraksi di DPR perihal penghapusan Pasal 418 dalam rancangan KUHP.
Usai rapat, Menkumham Yasonna Laoly tak dapat menutupi rasa bahagianya, wajahnya tersenyum lantaran berhasil menyelesaikan RKUHP yang sudah berjalan selama kurang lebih 4 tahun pembahasannya.
Yasonna juga menyalami satu persatu anggota yang hadir dalam ruang rapat. Ia juga terlihat, menghampiri Prof Muladi, Prof Eddy OS Hiariej, dan Prof Hakristuti Harkrisnowo, setelah rumusan KUHP telah disepakati.
“Sudah lega, Sangat-sangat lega. Karena rencana RKUHP bisa diselesaikan yang selama hampir 4 tahun bergumul, banyak kontroversi, banyak perdebatan. Tapi tentu tidak semua bisa dibuat sempurna. Karena kita masyarakat heterogen, berbhineka dengan segala kompleksitas dan pandangan,” ucap Yasonna, di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (18/9) malam.
Yasonna tak menampik, penolakan terhadap RKUHP sangat deras. Meski begitu, Ia menegaskan, inilah hasil terbaik yang dikerjakan pemerintah bersama DPR, yang tak luput juga melibatkan pakar-pakar hukum dalam merancang dan merumuskan KUHP Nasional untuk Indonesia.
“Ini lah yang terbaik. Sudah diselesaikan dalam pembicaraan tingkat I. Mudah-mudahan rencananya mau dibawa ke paripurna tanggal 24 September,” ujarnya.
“Ini adalah legacy, sebuah warisan yang cukup besar untuk generasi kita dan bangsa ke depan. Karena lebih dari 100 tahun memakai hukum Belanda. Ini betul-hukum Indonesia,” lanjutnya.
Catatan Fraksi-fraksi
Dalam pandangan mini fraksi yang disampaikan di Raker Komisi III bersama Menkumham, hanya lima fraksi yang menyampaikan persetujuan dengan catatan. Sedangkan, lima lainnya ikut keputusan yang sudah diambil.
Fraksi PDIP dalam penyampaian pandangan mini fraksi mengungkap tiga catatan yang disoroti dalam RKUHP. Perwakilan fraksi, M. Nurdin mengatakan, catatan ini juga tidak terpisahkan dari persetujuan pihaknya.
“Pertama pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 tentang hukum yang hidup dalam masyarakat. Fraksi PDIP berpandangan pada penerapannya, aparat penegak hukum maupun hakim dalam memberikan pertimbangan hukum, dalam putusannya berhati-hati dan cermat. Karena aparatur penegak hukum, dan hakim wajib untuk mengacu hukum yang hidup di dalam masyarakat,” ucap Nurdin.
Kedua, lanjut dia, mengenai pertanggungjawaban korporasi atau pidana korporasi yang tertuang dalam pasal 46 sampai 51. Pihaknya mengatakan, aparat penegak hukum harus berhati-hati dan cermat dalam penerapannya.
“Ketiga, pasal 419 ayat 3, yang mengatur pihak yang dapat melakukan pengaduan yaitu kepala desa atau dengan sebutan lainnya, sepanjang tidak ada keberatan dari suami, istri, orang tua atau seterusnya, namun demikian tetap melindungi ruang pribadi,” ujarnya.
Karena itu, kata Nurdin, Fraksi PDIP meminta agar setelah kesepakatan dimasukan secara tertulis, sehingga memberikan kejelasan dalam kalimat tidak terdapat keberatan.
Senada, Fraksi Partai Gerindra juga menyatakan, setuju RKUHP untuk dibawa ke rapat paripurna. Meski begitu, perwakilan fraksi, Faisal Muharram mengungkap, pihaknya juga memberi catatan yang perlu diperhatikan.
Faisal berujar, pihaknya memberikan catatan khusus terhadap Pasal 419 ayat 1 tentang kohabitas atau kumpul kebo. Gerindra menilai, hukuman pidana penjara selama enam bulan penjara bagi pelaku kumpul kebo masih terlalu ringan. Terlebih tidak memberikan efek jera terhadap pelaku.
“Fraksi Partai Gerindra DPR meminta pemberatan atas sanksi pidana bagi pelaku kumpul kebo menjadi satu tahun pidana penjara,” katanya.
Berikut bunyi Pasal 419:
Pasal 419
(1) Setiap Orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori II.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, Orang Tua atau anaknya.
Perwakilan Fraksi PKB, Siti Masrifah mengatakan pada dasarnya pihaknya menyetujui RKUHP dibawa ke tahap paripurna untuk disahkan menjadi UU. Meski begitu, ada 7 poin yang jadi catatan fraksinya.
Hal pertama yang menurutnya perlu dilakukan dalam pembaharuan KUHP adalah memuat seluruh perubahan mendasar terkait dekolonisasi, demokratisasi, konsolidasi, dan harmonisasi. Sehingga kodifikasi dalam KUHP yang baru akan secara menyeluruh mengatur hal-hal semacam itu.
“Kedua, harus diakui pula adanya tindak pidana atas dasar hukum yang hidup dalam masyarakat atau yang sebelumnya dikenal sebagai tindak pidana adat, untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat. Ketiga, pengaturan mengenai pidana mati, harus tetap ada dan pidana mati adalah adalah pidana yang paling berat,” ucapnya.
Keempat, lanjut Masrifah, untuk menghasilkan undang-undang hukum pidana yang bersifat kodifikasi dan unifikasi, selain dilakukan evaluasi dan seleksi terhadap berbagai tindak pidana yang ada di dalam Wetboek van Strafrecht, juga dilakukan terhadap berbagai perkembangan tindak pidana yang ada di luar Wetboek van Strafrecht.
Kemudian, hal kelima pihaknya berpendapat bahwa sangat baik jika dimasukkan pengaturan tentang tindak pidana pornografi, tindak pidana di dunia maya, dan tindak pidana tentang informasi dan transaksi elektronik.
Keenam, Fraksi PKB berpendapat dengan sistem perumusan tindak pidana dalam RUU ini, terdapat bab tindak pidana khusus yang terdiri dari tindak pidana berat, terhadap hak asasi manusia, tindak terorisme tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana narkotika.
“Ketujuh, Fraksi PKB berpendapat bahwa dalam pembentukan undang-undang ini juga, memperhatikan hasil dari putusan pengadilan yang berkaitan dengan pengujian KUHP. Antara lain, mengenai delik penghinaan Presiden, delik penodaan agama dan delik kesusilaan,” ucapnya.
Catatan lainnya juga disampaikan Fraksi PKS Nasir Djamil, meski tidak dibacakan langsung tapi PKS telah menyampaikan usulan catatannya kepada pimpinan rapat panja RKUHP. Dalam catatanya PKS menyoroti frasa di pasal 600 huruf d RKUHP.
Pasal 600 huruf d berbunyi:
Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan, atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara atau penghilangan orang secara paksa dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun.
Kemudian disepakati, penjelasan pasal 600 huruf d sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan kekerasan seksual yang setara, adalah perbuatan untuk melakukan pemaksaan seksual yang serius, sebagai bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan. Misalnya perdagangan orang untuk tujuan eksploitasi seksual atau mutilasi genital perempuan.
Alternatif pertama, yang dimaksud dengan kekerasan seksual yang setara adalah perbuatan untuk melakukan pemaksaan seksual yang serius sebagai bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan.
Begitu pula dengan Fraksi PPP, yang diwakili oleh Arsul Sani. Dalam catatannya PPP menyoroti Pasal 281 huruf a dan c.
Pasal 281 berbunyi:
Dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori II, Setiap Orang yang pada saat sidang pengadilan berlangsung:
a. tidak mematuhi perintah pengadilan yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan;
b. bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan atau menyerang integritas hakim dalam sidang pengadilan; atau
c. tanpa izin pengadilan merekam, mempublikasikan secara langsung, atau membolehkan untuk dipublikasikan proses persidangan.
Arsul menjelaskan, yang dimaksud pasal 281 huruf c yakni jika proses persidangan bersifat tertutup atau ketika hakim telah memerintahkan untuk tidak diperbolehkan untuk dipublikasi.
“Jadi kalau itu merupakan persidangan terbuka, ya maka tidak ada halangan bagi media untuk mempublikasikannya, mencatatnya dan lain sebagainya,” ucapnya.
Sedangkan pasal 281 huruf a, kata Arsul, yang dimaksud dengan tidak mematuhi perintah pengadilan yang dikeluarkan untuk proses peradilan adalah melakukan hal-hal untuk menentang perintah tersebut dengan cara-cara yang tidak dibenarkan oleh hukum.