Malam hari ketika demonstrasi digelar di depan Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat pada Selasa (24/9), Indonesian Lawyers Club mengundang sejumlah perwakilan mahasiswa dan elite negara sebagai narasumber acara. Dari parlemen, politikus PDIP Junimart Girsang dan politikus PPP Arsul Sani hadir. Mewakili pemerintah, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly jadi juru bicara.
Dalam pernyataannya, Junimart mengapresiasi aksi mahasiswa. Namun, ia memandang ada kesalahpahaman antara rakyat dan pemerintah serta DPR soal substansi permasalahan, baik UU KPK ataupun RUU KUHP. "Pertama tentu secara jiwa besar kita harus mengapresiasi mahasiswa. Karena kita juga pernah jadi mahasiswa," tutur Junimart.
"Memang itu, belum membaca secara penuh, secara utuh. Belum menanyakan kepada kami-kami ini, bagaimana sih draft RUU KUHP ini. Kalau belum jelas, ya tanyakan ke Panja, ini maksudnya apa. Kan begitu," tambahnya.
Seirama dengan Junimart, Yasonna juga menyampaikan pandangan soal perbedaan pandangan melihat UU KPK dan RUU KUHP antara elite dan rakyat. Seperti Junimart, Yasonna menyebut dirinya aktivis di masa muda. "Saya mendengar adik-adik. Saya juga aktivis masa mudanya," kata Yasonna.
Ketimbang Junimart, Yasonna bereaksi leebih keras. Ia bahkan menyebut mahasiswa asal demo tanpa memahami substansi dari isi UU KPK dan RUU KUHP.
"Jadi, kalau saya ini mau berdebat, saya baca dulu itu barang sampai sejelas-jelasnya baru saya berdebat. Kalau ini jujur, sebagai dosen saya malu apa yang saudara sampaikan. Malulah. Enggak baca, kasih komentar didengar orang di ILC. Saya sampai tutup mata tadi," tambahnya.
Muara mantan aktivis
Tak ada yang salah. Berbagai pernyataan yang disampaikan para elite sah-sah saja. Gedung Bundar Senayan memang sejak lama dikenal sebagai muara berkumpulnya mantan-mantan aktivis dan pegiat politik. Nama-nama seperti Fahri Hamzah, Budiman Sudjatmiko, Fadli Zon, Adian Napitupulu jadi bukti betapa aktivisnya para wakil rakyat di masa muda mereka.
Begitu pun dengan wakil rakyat lain yang kami tanyakan perihal ini. Ketua DPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengatakan turut serta dalam demonstrasi mahasiswa kala merebut reformasi dari selangkangan Orde Baru. "Pernah. 98 waktu itu (reformasi)," tutur politikus Partai Golkar kepada era.id, Rabu (25/9).
Anggota dewan lain, Abdul Kadir Karding juga mengakui masa lalu serupa. Karding bahkan menyampaikan pandangan soal perbedaan demonstrasi mahasiswa hari ini dengan masa lalu ketika dirinya aktif turun ke jalan. Menurut Karding, demonstrasi mahasiswa pada 23-24 September lalu adalah reaksi dari informasi ngawur yang berseliweran di media sosial.

Demonstrasi mahasiswa di depan Gedung DPR (era.id)
"Saya secara jujur melihat demo kemarin agak prihatin. Juga yang pertama karena kalau mau jujur, demo ini terjadi karena sebagian besar karena terpengaruh oleh konten-konten yang sengaja disebarkan di media sosial. (Informasi) yang dipenuhi dengan pelintiran-pelintiran itulah," kata Karding.
Karding juga menasihati 'adik-adiknya' untuk membudayakan demonstrasi beradab. Politikus PKB ini melihat ada pelanggaran adab yang dilakukan mahasiswa lantaran menolak mundur ketika waktu menunjukkan pukul 18.00 WIB. "Menurut saya demo itu penting, silakan demo. Tapi yang pertama disesuaikan adab kita. Kalau sudah lewat jam 6, sesuai peraturan, ya sudah, off," tambahnya.
Penting sebut diri aktivis?
Pengamat politik dari Indonesia Political Review (IPR), Ujang Komarudin melihat ada tujuan tertentu yang hendak dicapai para elite dengan narasi-narasi 'mantan demonstran'.
Narasi itu sengaja dibangun untuk membangun 'persamaan' antara mahasiswa dan para elite. Dalam politik, langkah ini penting untuk meraih simpati mahasiswa sekaligus menghapus citra negatif tentang DPR dan kinerjanya.
"Untuk meraih simpati mahasiswa. Selama ini kan DPR dicitrakan negatif oleh mahasiswa. Oleh karena itu perlu dibangun pencitraan positif untuk meraih simpati mahasiswa," tutur Ujang lewat sambungan telepon.
Menurut Ujang, ada kesalahan yang dilakukan para elite dalam pembangunan narasi persamaan ini. Menurutnya, narasi ini justru mempertegas ketidakmampuan para elite mempertahankan idealisme kerakyatan mereka.
Lagipula, dalam pandangan Ujang, narasi semacam ini hanya bersifat retoris. Mahasiswa membutuhkan aksi dan tanggapan yang lebih substantif sebagai solusi meredam keresahan mereka.
"Kenapa ketika menjadi anggota DPR tindakan dan pikirannya bertolak belakang dengan para demonstran. Wakil rakyat sejatinya harus sejalan dengan aspirasi rakyat yang diwakilinya. Rakyat menolak UU KPK, tetapi DPR dan pemerintah memaksakan mengesahkannya. Akhirnya terjadilah demonstrasi berskala besar oleh mahasiswa," ungkap Ujang.