ERA.id - Polarisasi politik di Indonesia fakta terjadi, baik di dunia nyata pun maya. Pernyataan ini diambil dari hasil Survei Nasional yang dilakukan oleh Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia (UI).
Ketua Laboratorium Psikologi Politik UI Profesor Hamdi Muluk dalam rilis hasil survei nasional bertajuk Polarisasi politik di Indonesia: Mitos atau Fakta? yang dipantau secara daring di Jakarta, Minggu (19/3), mengatakan polarisasi masih kuat terjadi berdasarkan agama, polarisasi berbasis kepuasan kinerja pemerintah, berbasis sentimen anti luar negeri (asing dan Aseng).
“Agama varian penyumbang terbesar polarisasi,” kata Hamdi.
Selain agama, tingkap kepuasan terhadap kinerja pemerintah juga dapat menjadi penyumbang polarisasi, hasil riset menunjukkan adanya sentimen berbasis anti luar negeri, yang kerap disebut masyarakat anting asing atau aseng.
Menanggapi sentimen itu, Menteri Investasi dan kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menepis adanya isu investasi Indonesia dikuasai asing.
Bahlil selaku penanggap dalam rilis itu mengonfirmasi bahwa investasi Indonesia dari total Rp 1.207 triliun di tahun 2022 di luar sektor migas, keuangan dan UMKM, itu 54 persen adalah investasi asing. Dari 54 persen itu negara paling besar yang masuk adalah Singapura sekitar Rp13 miliar USD.
Namun, Bahlil menegaskan, bahwa nominal Rp13 miliar USD bukan sepenuhnya uang milik negara Singapura, tetapi juga sebagian berasal dari orang Indonesia yang ada di Singapura, karena di negara Singa Putih itu terdapat pula warga Timur Tengah, Eropa, dan Asia.
“Jadi investasi kita 1.207 itu, 54 persen PMA, 46 persen PMDN, jadi kalau digabung ke bawah, sebagian yang asing dari Singapura sebagian masuk ke Indonesia, maka PMDN kita lebih besar daripada PMA, karena duitnya orang Indonesia. cuma kita dikompor-komporin seolah-olah ini China, Korea, jepang,” kata Bahlil.
Kemudian terkait isu ketenagakerjaan, Bahlil menjelaskan, IUP tambang di Indonesia 80 persen milik dalam negeri. Yang dikuasai asing adalah smelternya (pablik pelebur).
Penguasaan ini karena Indonesia belum memiliki teknologinya, biaya pendirian smelter yang mahal, pengusaha dalam negeri belum ada kepedulian ke arah tersebut, dan perbankan nasional yang tidak mau membiayai smelter.
“Maka yang terjadi adalah, teknologinya kita bawa dari luar, kemudian uangnya kita bawa dari luar, terus kemudian kita anti asing. Kalau kita tidak mau asing masuk, berarti kita akan menjadi negara yang lambat dalam proses hilirisasinya,” terangnya.
Bahlil juga mengingatkan, bahwa narasi-narasi negatif soal investasi asing juga dibangun oleh para elite politik yang dulunya juga mantan aktivis. Ia memastikan sebagai mantan aktivis yang berada di pemerintahan, tidak akan melacurkan idealismenya. Namun ia berpesan agar para elite politik untuk mencari narasi yang bagus dalam memenangkan kontestasi, agar tidak membuat pengkubuan di masyarakat. Karena di Indonesia aman, pertumbuhan ekonominya bagus, stabilitasnya bagus.
“Tetapi kita ditipu dengan isu-isu polarisasi yang tidak masuk akal, kampret-cebong, kayak tidak ada tema-tema lain yang lebih cerdas, bukan berarti saya tidak mengakui adanya polariasasi, barang itu sudah ada sebelum kita lahir, sejak Adam dan Hawa ada, cuma harus diperlukan kecerdasan kita dalam mengelola,” tandasnya.