Selain peraturan tentang catatan KDRT, KPU akan menyertakan sejumlah aturan pengendali moral lain, seperti catatan tentang perzinaan, penggunaan narkoba, hingga mabuk-mabukan. Nantinya, sejumlah aturan itu akan dimasukkan ke dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Kami bertanya kepada Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi tentang rancangan PKPU tersebut.
Menurut Pram --sapaan akrab Pramono, secara garis besar, poin-poin aturan tersebut sejatinya adalah adaptasi dari Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pilkada. Namun, UU 1/2015 tidak mencantumkan poin-poin aturan di atas ke dalam batang tubuh UU, melainkan hanya ditulis sebagai penjelasan. Karenanya, lewat PKPU, KPU coba mempertegas larangan-larangan tersebut.
Pernyataan Pram sekaligus membantah anggapan publik bahwa aturan moral yang ditetapkan KPU ini 'kesiangan'. "Nah, selama ini di PKPU tidak dimunculkan karena kita beranggapan, wong sudah diatur dalam penjelasan UU, ya tidak perlu (lagi) kita atur (di PKPU)." tutur Pram lewat sambungan telepon, Kamis (3/10/2019).
Pramono Ubaid Tanthowi (Anto/era.id)
"Tapi (kemudian), seolah-olah aturan itu tidak ada. Karena itu, di Pilkada 2020 itu kemudian kita eksplisitkan. Sebenarnya ada di penjelasan UU (nomor) 1 (tahun) 2015," Pram menambahkan.
Meski begitu, Pram mengakui poin KDRT sebagai masukan baru. Menurutnya, selama ini belum ada aturan yang melarang pelaku KDRT untuk maju sebagai calon kepala daerah. Aturan ini dianggap penting untuk memastikan terpenuhinya nilai-nilai etika moral dalam pencalonan kepala daerah. Kepala daerah yang jauh dari KDRT, perzinaan, judi, narkoba, dan mabuk-mabukan diharapkan bisa memimpin sebuah daerah dengan baik.
Didukung parpol di DPR
Rancangan PKPU ini memancing gelombang komentar partai politik. Johnny G Plate, Sekretaris Jenderal Partai NasDem memandang aturan itu sebagai langkah strategis menjaga integritas pemimpin di daerah, baik itu gubernur atau pun bupati.
"Kalau terkait PKPU, itu domain KPU. Saya belum baca. Tapi, hal-hal dasar terkait integritas calon kepala daerah itu baik-baik saja. Namun ada kemungkinan UU pilkada akan direvisi," tuturnya di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Senada soal integritas. Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Tifatul Sembiring menyebut kematangan moral sebagai syarat penting untuk seseorang maju dalam pilkada.
"Kepala daerah harus bermoral lah. Jadi syarat pimpinan, satu moral, kita ini orang timur, jadi enggak bisa. Tidak bermoral itu susah," katanya.
Meski begitu, saat kami merinci aturan-aturan pengendali moral yang ditetapkan KPU, Tifatul enggan berkomentar. Ia justru menyoroti persoalan lain yang menurutnya lebih penting: korupsi. Menurut Tifatul, tak ada yang lebih mendesak dari melarang koruptor maju pilkada.
Tak mengatur koruptor
Celaka bagi kita. Di balik upaya progresif penegakan etika moral yang dilakukan KPU lewat rancangan PKPU, isu koruptor maju pilkada justru melempem. KPU konon tak menyertakan aturan mendesak itu ke dalam rancangan PKPU. Komisioner KPU Evi Novida Ginting menegaskan hal itu. Ia mengakui poin larangan koruptor maju pilkada 'terlewat' oleh KPU.
Menurut Evi, KPU kini tengah mempertimbangkan larangan koruptor maju pilkada. KPU bimbang, apakah larangan ini akan disertakan dalam rancangan PKPU yang tengah digodok atau akan menunggu revisi UU 1/2015 tentang Pilkada.
"Iya, ini (koruptor) yang terlewatkan, ya. Jadi nanti kami akan bahas ya, apakah ini kemudian kita masukkan (rancangan PKPU) atau menunggu revisi UU-nya. Jadi, kami usulkan untuk dimasukkan revisi UU," kata Evi di kantor KPU, Jakarta Pusat, Rabu (2/10).
Barangkali KPU punya alasan untuk bimbang. Sejatinya, KPU pernah memasukkan larangan bagi narapidana korupsi untuk maju dalam pemilihan legislatif. Larangan itu tercantum dalam Pasal 7 Ayat 1 huruf h PKPU Nomor 20 tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Kabupaten Kota. Pasal tersebut mengatur bahwa terpidana korupsi tak dapat mendaftar sebagai caleg.
Namun, malang bagi KPU dan kita para rakyat. Kala itu, seorang terpidana kasus korupsi bernama Jumanto mengajukan uji materi PKPU itu kepada Mahkamah Agung (MA). Dalam pandangan hukumnya, MA membatalkan sejumlah pasal terkait larangan bagi narapidana korupsi, bandar narkoba, hingga pelaku kejahatan seksual terhadap anak untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.
MA melihat PKPU bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum juncto UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang notabene lebih tinggi dari PKPU. UU tersebut menjamin hak politik setiap warga negara, termasuk mereka yang telah menebus dosa dengan menempuh masa hukuman.
Dengan preseden itu, KPU berharap DPR dan pemerintah bisa menyertakan larangan koruptor maju pilkada ke dalam revisi UU --yang posisinya lebih tinggi dari PKPU-- Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pilkada.
Gedung Mahkamah Agung (setkab.go.id)
Alasan Evi tak menyertakan larangan koruptor maju pilkada ke dalam PKPU boleh jadi betul. Namun, kami menangkap inkonsistensi narasi KPU. Kami mengingat pernyataan Pram yang mengatakan sejumlah peraturan pengendali moral --KDRT, perzinaan, narkoba, dan mabuk-- yang disertakan dalam PKPU ini akan berdiri tegak sekalipun digoyang dengan narasi pemenuhan hak politik warga negara atau narasi sejenis lain.
Bagi KPU, tak ada kesempatan bagi calon kepala daerah dengan catatan KDRT, perzinaan, judi, narkoba, dan mabuk-mabukan untuk maju dalam pilkada, sekalipun calon kepala daerah itu telah menuntaskan masa hukuman. Menurutnya, KPU dapat berpegang pada pandangan etika, bahwa meski telah menjalani masa hukuman, calon kepala daerah itu tetap saja telah melanggar etika yang berlaku di masyarakat.
"Kalau berdasarkan aturan itu, ya seharusnya tidak (maju usai menjalani masa hukuman). Ini kan bukan aturan semata-mata peraturan hukum. Tapi ini kan sebagian besar termasuk persoalan etika, begitu. Jadi soal etik itu kan di atas hukum. Jadi, bisa jadi secara hukum dia sudah menjalani hukuman dan seterusnya, tetapi aturannya memang ada seperti itu, ya tentu harus dipahami," tutur Pram.
"Ini kan bagian kita dari komitmen untuk menghadirkan kandidat-kandidat yang bukan hanya tidak bermasalah secara hukum, tetapi juga punya etika yang bisa juga menjadi contoh bagi masyarakat di wilayahnya masing-masing," tambahnya.
Pertanyaannya, jika KPU bisa sangat percaya diri memperjuangkan larangan soal moral macam KDRT, perzinaan, narkoba, dan mabuk-mabukan, kenapa perkara larangan soal korupsi tak dapat diperjuangkan dengan percaya diri yang sama?