Buah Simalakama Perppu KPK

| 07 Oct 2019 07:32
Buah Simalakama Perppu KPK
Gedung KPK (Wardhany/era.id)
Jakarta, era.id - Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang disahkan DPR menimbulkan kontroversi sebab banyak yang menganggap UU itu melemahkan KPK. 

Presiden pun diminta menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) agar membatalkan UU tersebut. Setidaknya itu yang direkam dari penelitian Lembaga Survei Indonesia (LSI). 

Dari hasil survei opini publik dari LSI lewat sambungan telepon terhadap 1.010 responden pada 4-5 Oktober 2019, tercatat sebanyak 76,3 persen responden setuju Presiden Joko Widodo menerbitkan Perppu KPK.

Hasil survei LSI juga mencatat sebanyak 70,9 persen responden memandang revisi UU KPK telah melemahkan lembaga antirasuah tersebut. Sedangkan, 18 persen responden memandang revisi itu menguatkan KPK dan sisanya sebanyak 11,1 persen mengatakan tidak tahu dan tidak menjawab.

Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan mengatakan, survei ini harusnya bisa menjadi salah satu ukuran Presiden Jokowi untuk mempertimbangkan penerbitan Perppu KPK. 

"Ada 76,3 persen masyarakat yang tahu dan menyatakan presiden perlu mengeluarkan Perppu KPK," kata Djayadi kepada wartawan di Jakarta, Minggu (6/10/2019).

Dia menambahkan, meski publik mendesak Perppu dikeluarkan, namun tingkat kepercayaan rakyat kepada Presiden tetap tinggi. Dari survei inin tercatat, sebanyak 9 persen menyatakan sangat percaya dengan kerja presiden, 62 persen responden percaya, 19 persen tidak percaya, 2 persen tidak percaya sama sekali, dan sisanya sebanyak 8 persen tidak tahu/tidak menjawab.

Sedangkan untuk tingkat kepercayaan masyarakat dengan KPK, survei ini mencatat, 9 persen responden mengatakan sangat percaya, 63 persen menyatakan percaya, 13 persen mengatakan tidak percaya, 1 persen mengatakan tidak percaya sama sekali, dan sisanya sebanyak 15 persen menyatakan tidak tahu/tidak menjawab.

Hasil ini menandakan, publik masih menempatkan Presiden dan KPK sebagai pihak yang bisa dipercaya. 

Sementara, untuk DPR, publik menyatakan sebanyak 1 persen responden mengatakan sangat percaya, 39 persen responden percaya, 40 persen responden tidak percaya, 5 persen menyebut tidak percaya sama sekali, dan 15 persen responden tidak tahu/tidak menjawab.

"Di mata masyarakat, KPK dan Presiden jauh lebih dipercaya ketimbang DPR dalam konteks UU KPK ini. Karena itu kalau presiden mengeluarkan kebijakan Perppu, itu lebih bisa dipercaya daripada mengikuti apa yang diinginkan DPR," tegas Djayadi.

Dia juga meyakini isu pemakzulan karena Perppu KPK diteken Jokowi tak bakal terjadi. Sebab dari hasil surveinya, dia melihat kecenderungan masyarakat bersama Jokowi jika Perppu itu dikeluarkan oleh mantan Gubernur DKI Jakarta itu. "Publik umumnya berada di belakang presiden kalau dia menerbitkan Perppu KPK," ungkapnya.

"Kalau tidak menerbitkan, ada kemungkinan presiden dianggap meninggalkan kehendak rakyat," imbuhnya.

Salah satu elemen masyarakat yang mendesak terbitnya Perppu UU KPK adalah Indonesia Corruption Watch (ICW). ICW menilai ada tiga poin bermasalah dalam pengesahan revisi undang-undang tersebut.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan tiga poin tersebut di antaranya adalah UU KPK yang telah direvisi bermasalah secara formil. Sebab, undang-undang ini tak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2019. 

Tak hanya itu, proses pembahasannya juga tak sesuai dengan amanat Pasal 88 Ayat 1 UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-Undangan.

"Dalam proses pembahasannya tidak melaksanakan tahapan penyebarluasan dokumen terkait, termasuk draft RUU," kata Kurnia lewat keterangan tertulisnya.

Dia menambahkan, proses pembahasan UU KPK juga menihilkan partisipasi masyarakat dan rapat paripurna di DPR saart itu juga dianggap tak sesuai karena tidak memenuhi jumlah kuorum peserta rapat. "Oleh karena itu, pengesahan revisi UU KPK dilakukan secara dipaksakan karena aspek formilnya bermasalah," tegas Kurnia.

Dua masalah lain, kata Kurnia adalah soal substansi pasal dan KPK yang dibuatkan undang-undang baru malah tidak diajak dalam proses pembahasan. "KPK adalah lembaga yang menjalankan UU tersebut di masa mendatang. Lalu kenapa tidak dilibatkan?" tanyanya.

Sehingga, selain mendesak penerbitan Perppu KPK, ICW juga meminta pemerintah mendukung langkah Presiden Jokowi dalam menerbitkan Perppu untuk membatalkan UU KPK yang telah direvisi. "Dan kembali memberlakukan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Korupsi," ujar Kurnia.

Perppu KPK seperti buah simalakama

Desakan soal penerbitan Perppu KPK ini juga sebelumnya sudah ditanggapi oleh Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko. Kata dia, Jokowi tidak akan bisa memuaskan semua pihak terkait polemik UU tersebut.

Moeldoko menambahkan, jika Perppu KPK ini diterbitkan bisa saja partai politik termasuk parpol pendukung Jokowi di parlemen menjadi kecewa.

Namun, jika Jokowi tidak menerbitkan Perppu, maka mahasiswa dan para aktivis antikorupsi yang menuntut hal tersebut bakal kecewa. Sehingga Moeldoko bilang, Perppu KPK ini ibarat buah simalakama.

"Enggak dimakan bawa mati, dimakan ikut mati. Kan begitu cirinya, memang begitu. Jadi memang tidak ada keputusan yang bisa memuaskan semua pihak," kata Moeldoko di Jakarta pada Jumat (4/10/2019).

Sehingga, menurutnya, saat ini, Jokowi sedang memikirkan keputusan yang terbaik soal Perppu KPK ini. Moeldoko memastikan Jokowi bakal mendengar masukan yang telah disampaikan kepada pemerintah. Apalagi sebelumnya, Jokowi sudah bertemu dengan ketum parpol pendukungnya di Pilpres 2019.

Sedangkan Moeldoko kebagian tugas menerima sejumlah pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari beberapa perguruan tinggi. "Presiden itu banyak yang harus didengarkan. Ada parpol, ada masyarakat lain, ada mahasiswa, ada berbagai elemen masyarakat," tegasnya.

"Maka sekali lagi, bahwa presiden mendengarkan. Mendengarkan dengan jernih, mendengarkan dengan cermat agar nanti langkah-langkah ke depan yang terbaik," tutupnya.

 

Rekomendasi