Wacana ini jadi sorotan. Wakil Presiden Jusuf Kalla bahkan mengomentari berbagai risiko yang dapat terjadi jika amandemen UUD 45 benar-benar dilakukan. Salah satunya adalah pemilihan presiden nantinya akan dikembalikan ke MPR sebagai lembaga legislatif tertinggi. Hal ini tentu bertentangan dengan sistem pemilihan umum langsung.
Bagi rakyat, hilangnya kedaulatan memilih presiden tentu jadi amat mengecewakan. Sedang untuk calon presiden, penerapan GBHN akan berdampak pada keterbatasan calon presiden untuk menentukan visi-misinya sendiri. Bukan apa-apa. GBHN akan mewajibkan siapa pun orang yang ingin jadi presiden untuk mengikuti arahan GBHN.
Pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Ujang Komarudin melihat penghidupan kembali GBHN lewat amandemen terbatas sebagai cara para elite mengamankan kekuasaan. Ia menegaskan, penghidupan kembali GBHN tak akan memberi keuntungan apa-apa bagi rakyat. Malahan, rencana tersebut akan membawa Indonesia kembali ke zaman orde baru.
"Itu hanya permainan elite. Apalagi jika sampai mengamandemen pemilihan presiden secara langsung diubah menjadi pemilihan presiden oleh MPR. Hal tersebut akan membawa Indonesia kembali masa Orba," tutur Ujang saat dihubungi era.id di Jakarta, Senin (7/10/2019).
Sorotan terkait ini juga menyasar pernyataan sejumlah elite partai politik yang mengklaim penghidupan GBHN tak akan menyentuh sistem pemilihan presiden. Menurut Ujang, hal tersebut bisa jadi iming-iming semata agar wacana ini tak digoyang.
"Sepertinya arahnya kesana juga, ke sistem pemilihan presiden oleh MPR. Karena kalau hanya menghidupkan GBHN tak terlalu berarti. Karena ada atau tidaknya GBHN, pembangunan Indonesia terus berjalan," kata Ujang.
Senada. Peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan, wacana penghidupan GBHN adalah upaya terselubung elite partai untuk mengamankan kekuasaan dalam Pilpres 2024. Dalam sudut pandang lain, hal ini sejatinya adalah pengakuan bahwa partai-partai politik tak pernah bisa benar-benar memenangi hati rakyat dalam sistem pemilu langsung.
Menurut Feri, mata rakyat mulai terbuka. Berbagai catatan kotor yang dilakukan para elite telah menurunkan kepercayaan rakyat terhadap sistem politik ke titik yang amat rendah. Menurut Feri, partai politik seharusnya bisa membenahi kinerja mereka demi memperbaiki relasi dengan rakyat. Namun, nampaknya partai politik lebih memilih cara praktis. "Itu sebabnya gagasan perubahan UUD 1945 menjadi sangat penting," katanya.
Rapat paripurna MPR (Gie/era.id)
MPR harus jamin perkuat sistem presidensial
Sementara itu, Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono berpandangan, penghidupan amandemen UUD 1945, bagaimanapun harus didasarkan pada prinsip penguatan sistem presidensial.
Pakar hukum tata negara ini menyebut, sistem presidensial merupakan konsensus dan prinsip dasar konstitusi di Indonesia. Ia menilai, sebenarnya amandemen konstitusi itu dapat dilakukan, asalkan tidak menganggu penguatan sistem presidensial.
Menurut Bayu, sebagai inisiator, MPR harus memperjelas wacana mengenai amandemen UUD 1945 demi membangkitkan kembali GBHN. Apakah dibangkitkannya itu berarti menempatkan MPR RI sebagai lembaga tertinggi negara atau tidak.
Jika dinilai tidak ada urgensinya, lanjut Bayu, sebaiknya amandemen UUD 1945 diurungkan. Amandemen konstitusi sejatinya hanya perlu dilakukan apabila ada persoalan mendasar dalam ketatanegaraan yang tidak dapat diselesaikan melalui jalur hukum biasa.
"Untuk mengubah undang-undang saja seharusnya meminta persetujuan publik, apalagi mengubah UUD 1945," ujar Bayu, di Jakarta, Sabtu (5/10).