Membaca Efek Koalisi Gemuk Jokowi

| 15 Oct 2019 10:51
Membaca Efek Koalisi Gemuk Jokowi
Presiden Jokowi saat menghadiri pelantikan anggota DPR (Foto: Anto/era.id)
Jakarta, era.id - Presiden Joko Widodo melakukan pertemuan dengan sejumlah tokoh politik yang menjadi lawannya di Pemilu 2019. Di antaranya, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan. 

Pertemuan ini mengisyaratkan koalisi pendukung Jokowi di pemerintahan 2019-2024 akan bertambah tiga partai tadi. Dengan tambahan tiga partai ini, artinya koalisi pemerintah Jokowi akan jadi gemuk.

Pengamat Politik Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing berpendapat, koalisi gemuk tidak akan berdampak pada demokrasi, meskipun pemerintahan berjalan tanpa oposisi.

Menurut dia, peran oposisi sekarang bisa digantikan oleh media sosial sebagai pengawas pemerintah.

"Mungkin sebagian menganggap bahwa koalisi harus seimbang antara oposisi dan pemerintah. Itu konsep konvensional. Itu pandangan berbasis pada fenomena politik yang zaman dulu," ujarnya, saat dihubungi era.id, di Jakarta, Selasa (15/10/2019).

Lebih jauh, Emrus menilai pertemuan Jokowi dengan para ketua umum partai itu tidak hanya membahas soal koalisi. Tapi ada sejumlah agenda yang di bahas dalam pertemuan tersebut, di antaranya konflik di beberapa daerah serta kisruh UU KPK, pelantikan presiden, pemindahan ibu kota dan penyusunan kabinet.

"Saya kira mereka akan membincangkan itu sesuai dengan kepentingan politik mereka," tuturnya.

Bila Emrus bilang peran oposisi bisa digantikan Rakyat, beda penilaian dari Pengamat Politik Universitas Al-Azhar Ujang Komarudin. Menurut dia, peran oposisi harus ada sebagai upaya kontrol terhadap pemerintah.

"Ini bahaya, karena pemerintah tidak akan ada yang mengawasi selama lima tahun. Tidak akan ada yang mengontrol, tidak ada check and balance," tutur Ujang, saat dihubungi era.id, Minggu (13/10).

Menurut Ujang, hal seperti ini sebenarnya pernah terjadi di masa Orde Baru (Orba) saat pemerintahan Soeharto. Di mana selama 32 tahun memerintah, tak ada partai oposisi sebagai penyeimbang kekuasaan.

"Orba itu korup katakan lah, terjadi penyalahgunaan kekuasan karena tidak ada partai oposisi, tidak ada yang mengontrol, tidak ada yang mengawasi. Kalau saya mengutip pernyataanya Lord Acton 'Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely'," tuturnya.

Ujang menambahkan, ketika kekuasan begitu kuat akan cenderung disalahgunakan, imbasnya korupsi akan menjadi subur. Sebab, katanya, kekuasaan yang absolut akan menghasilkan korupsi yang absolut juga. Karena itu, tambah dia, dibutuhkan kontrol oposisi yang kuat dan tangguh.

Jika oposisi tak kuat dan tangguh, kata Ujang, rakyat yang akan memegang posisi sebagai oposisi langsung. Hal ini, katanya, tidak baik untuk bangsa Indonesia ke depan. Sebab, oposisi yang baik adanya di parlemen.

"Pemerintah dan oposisi harus ada di legislatif. Nanti sepertinya masyarakat dan mahasiswa yang akan mengkritik dari luar begitu," tuturnya.

Rekomendasi