Pakar Politik: Koalisi Besar Kadang Tak Disukai Rakyat, Lebih Pilih Dukung yang Lemah

| 14 Aug 2023 13:52
Pakar Politik: Koalisi Besar Kadang Tak Disukai Rakyat, Lebih Pilih Dukung yang Lemah
Ilustrasi surat suara pemilu (Antara)

ERA.id - Pengamat politik dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang, Mikhael Raja Muda Bataona mengatakan koalisi gemuk tidak menjamin kemenangan dalam Pilpres 2024.

"Soal peluang menang, saya kira jumlah partai tidak menjadi jaminan. Meskipun koalisi gemuk ini percaya diri akan menang dalam Pilpres nanti, mereka juga bisa kalah karena Pilpres 2014 silam sudah pernah membuktikan itu. Koalisi gemuk kalah dengan koalisi partai-partai kecil bersama PDIP. Ini yang jangan sampai menjadi "De Javu" baru di Pilpres 2024," kata Mikhael, Senin (14/8/2023).

Dia mengemukakan pandangan itu berkaitan dengan bergabungnya sejumlah partai besar untuk mendukung Capres Prabowo Subianto dan peluang menang pada Pilpres 2024.

Menurut dia, kekalahan Prabowo pada 2014 memberi fakta politik tentang kejamnya pertarungan elektoral di era demokrasi langsung. Katanya, jumlah gabungan partai politik yang banyak, kadang tidak disukai rakyat, sehingga rakyat sering mendukung yang lemah dan tidak dianggap.

Isu ini juga bisa menjadi kelemahan dari koalisi gemuk PAN, Golkar, Gerindra dan PKB. Jumlah mereka bukan jaminan. Apalagi rakyat juga tidak selamanya mengikuti preferensi partai politik dalam menentukan calon presiden pilihan mereka.

Rakyat bisa saja memilih calon presiden di luar pilihan partai yang mereka dukung. "Ini pertarungan figur, ketokohan, track record, personal branding, profil, dan kapabilitas yang dicitrakan tentang figur presiden. Bukan pertarungan partai dan kekuatan koalisi serta jumlah koalisi. Segmen pemilih yang biasanya konsisten pada capres pilihan partai itu tidak banyak. Jumlahnya sedikit. Dan itu kebanyakan hanya ada pada partai seperti PKS dan PDIP yang sangat terinstitusionalisasi secara ideologis," katanya.

Partai-partai di luar itu, umumnya pemilihnya bisa saja tidak mendukung arahan partai karena ikatan ideologisnya rendah. "Itu fakta politik tentang psikologis pemilih kita," katanya.

"Jadi, menurut saya, ini masih jauh dari cukup bagi Prabowo untuk dianggap menang. Sebab, pertarungan isu-isu keras dan mematikan terkait figur capres, belum muncul. Itulah yang nanti akan menentukan ara dukungan publik ke depan," katanya.

Isu-isu yang bisa saja mengganjal Prabowo seperti isu jika Prabowo presiden maka keluarga Cendana akan kembali berkuasa. Juga Prabowo akan mengembalikan kekuatan Orde Baru, juga isu HAM, dan lainnya yang wajib difilter sejak saat ini.

Karena nantinya akan sangat keras ke depannya jika isu-isu ini mulai dipakai untuk menyerang Prabowo. Demikian juga Ganjar, saat ini Ganjar tergerus karena isu petugas partai juga bahwa Jokowi lebih mendukung Prabowo.

"Semuanya itu sangat berpengaruh secara elektoral. Jadi, Belanda masih jauh. Keduanya, baik Prbowo maupun Ganjar, masih berpeluang untuk naik maupun turun secara elektoral. Apalagi masih ada Anies yang berpeluang juga menjadi Capres yang mendapat cukup dukungan jika mengambil cawapres dari Jawa Timur dan NU," tambah Bataona yang juga pengajar Investigatif News dan Jurnalisme Konflik pada Fisip Unwira Kupang ini.

Rekomendasi