Cerita Dua Mahasiswa Aksi 'Reformasi Dikorupsi' yang Dianiaya Polisi

| 15 Oct 2019 15:37
Cerita Dua Mahasiswa Aksi 'Reformasi Dikorupsi' yang Dianiaya Polisi
Foto Ilustrasi (era.id)
Jakarta, era.id - Pukulan, tendangan, teriakan, bahkan tembakan gas air mata tak bisa begitu saja hilang dari ingatan para korban insiden kericuhan di penghujung September lalu. Bentrokan pecah sebagai buntut aksi demonstrasi menuntut sejumlah RUU KUHP bermasalah dan UU KPK di depan kompleks DPR-RI.

Banyak beberapa dari massa yang menjadi korban dalam kericuhan itu. Bahkan, dua di antaranya, Akbar Alamsyah dan Maulana Suryadi tewas. Konon, keduanya jadi korban amukan aparat penegak hukum.

Adalah Gusti Aji Pangestu, mahasiswa Universitas Krisnadwipayana, Kota Bekasi, yang merupakan satu dari sekian banyak korban luka-luka. Pemuda ini disebut mendapat tindak kekerasan meski mengklaim tak sedikit pun terlibat dalam aksi kericuhan atau bentrokan dengan polisi.

Dari cerita Gusti yang dituturkan kembali oleh rekannya bernama Hafid, insiden pemukulan yang dialami Gusti terjadi jelang malam 24 September lalu. Kala itu, Gusti dan rekannya, Mohammad Yoverly berada di kolong jembatan layang Ladokgi lantaran terpisah dengan kelompoknya.

Dikatakan, saat itu rombongan dari Universitas Krisnadwipayana telah berkumpul di kawasan Bendungan Hilir untuk pulang usai menggelar aksi unjuk rasa. Gusti memutuskan untuk berpencar dari kelompoknya usai serangan gas air mata bertubi-tubi dilancarkan polisi. Gusti akhirnya berlindung di kawasan Jakarta Convention Center (JCC).

Dipukuli anggota kepolisian

Di sanalah segala penganiayaan itu terjadi. Gusti dan Yoverly yang terpisah hendak menyelamatkan diri dari kericuhan. Akan tetapi, ketika keduanya hendak melangkahkan kaki, beberapa anggota polisi memanggil keduanya.

Rasa khawatir menyelimuti keduanya. Anggota polisi itu berteriak dan mengancam akan menembak kakinya jika tak mengindahkan permintaannya itu. Perintah kedua polisi itu dipatuhi.

"Dia (oknum polisi) ancam kalau saya (Gusti) lari, nanti saya mau ditembak kaki. Saya turutin saja kata-kata dia," tutur Hafid, Selasa (15/10/2019).

Anggota polisi itu meminta Gusti dan Yoverly jongkok. Keduanya kebingungan. Gusti dan Yoverly sadar dalam bahaya, sebab anggota polisi di hadapan mereka mulai memanggil rekan-rekannya. Dalam kondisi itu, Gusti dan Yoverly hanya bisa pasrah menerima segala penganiayaan.

Tak banyak yang diingat oleh Gusti dan Yoverly. Hanya seragam berwarna cokelat, rompi pelindung, penutup wajah, dan helm yang sempat terlihat dikenakan oleh oknum-oknum polisi yang memukulinya.

Dampak aksi pemukulan itu, Gusti dan Yoverly mengalami luka pada bagian kepala dan tangan. Keduanya langsung dibawa ke Bidokkes Polda Metro Jaya untuk mendapat perawatan medis. Hanya saja, kondisi Gusti dinilai sangat mengkhawatirkan sehingga dirujuk ke Rumah Sakit Angkatan Laut (RSAL), Bendungan Hilir, Jakarta Pusat.

Berbeda. Luka yang dialami oleh Yoverly disebut tak terlalu parah. Yoverly melanjutkan sisa perawatannya di Bidokkes Polda Metro Jaya. Namun, penganiayaan terhadapnya tak selesai begitu saja. Menurut pengakuan, penganiayaan oknum polisi terhadap Yoverly terus berlanjut, bahkan ketika dirinya sedang menjalani perawatan medis.

"Sedangkan Verly pengobatannya ditangani di Polda Metro dan di situ ia masih mendapat tindakan represif," kata Hafid.

Telah dilaporkan

Gusti kemudian melaporkan penganiayaan yang ia dan Yoverly alami ke Profesi Pengamanan (Propam) Polda Metro Jaya. Laporan itu terdaftar dengan nomor STPL/44/X/REN.4.1.1/2019/Subbagyanduan. "Dalam pemeriksaan, Verly sebagai saksi dan Gusti sebagai pelapor," kata Hafid.

Meksi demikian, dalam laporan itu tak dilampirkan bukti-bukti yang kuat atas dugaan tindak kekerasan yang dilakukan oknum kepolisian di kawasan JCC itu. Hanya keterangan secara lisan yang diutarakan kepada penyidik.

Sama. Kasus penganiayaan yang dialami Yoverly selama menjalani perawatan di Bidokkes Polda Metro Jaya juga tak bisa dibuktikan. Namun, menurut Hafid, pembuktian sejatinya bisa dilakukan jika rekaman kamera CCTV di sekitar Biddokkes Polda Metro Jaya dibuka ke publik.

"Sebenarnya ada bukti kuat kami untuk memeriksa melalui CCTV Polda Metro Jaya karena Verly pada saat di Polda masih mendapatkan tindakan represif ... Tetapi hal yg nihil meminta bukti dari CCTV yang berada di Polda Metro," ungkap Hafid.

Rekomendasi