Saat itu, pertama kali Rancangan Undang-Undang (RUU) Ekstradisi diumumkan pada Februari 2019. Ribuan orang di Hong Kong berunjuk rasa menentang aturan itu. Namun seiring berjalannya waktu, massa terus membesar hingga mencapai jutaan orang. Masifnya gelombang aksi itu kemudian membuat Pemimpin Hong Kong Carrie Lam meminta maaf dan mengatakan bahwa RUU Ekstradisi telah mati.
Protes di Hong Kong dipicu dengan RUU Ekstradisi atau dikenal sebagai The Fugitive Offenders and Mutual Legal Assistance in Criminal Matters Legislation (Amendment) Bill 2019 yang diperkenalkan oleh Sekretaris Keamanan John Lee. Aturan ini akan memberikan pemimpin kota itu kekuasaan eksekutif untuk mengirim para buronan ke wilayah jurisdiksi yang tidak tercakup dalam sistem pengaturan yang telah berlaku, termasuk ke China Daratan dan Taiwan.
Meski aturan itu dikatakan telah mati. Namun Hong Kong masih tetap bergejolak. Aksi demonstrasi dilakukan terus-menerus dan kini berkembang menjadi gerakan menuntut reformasi demokrasi yang lebih luas. Para aktivis menyebut, kebebasan penduduk kota itu sedang dikikis oleh China. Bentrokan kerap terjadi antara massa dan aparat selama demonstrasi. Kota yang merupakan bekas koloni Inggris itu sedang mengalami krisis politik terburuk sejak dikembalikan kepada China pada 1997.
Laporan terbaru seorang aktivis gerakan pro-demokrasi Hong Kong, Jimmy Sham terluka parah bersimbah darah usai dikeroyok sekelompok orang tak dikenal dengan menggunakan palu pada Rabu malam. Menurut Front Hak Asasi Manusia Sipil (CHRF), aksi penyerangan yang mereka sebut tindakan teror politik itu terjadi di distrik Mongkok.
Baca Juga: Patung Lady Liberty, Simbol Revolusi Demonstran Hong Kong