Lima Tahun ke Depan, Jokowi Minim Musuh

| 21 Oct 2019 10:05
Lima Tahun ke Depan, Jokowi Minim Musuh
Presiden Jokowi dan Wapres Ma'ruf Amin bersama pimpinan MPR (Foto: Twitter @jokowi)
Jakarta, era.id - Joko Widodo (Jokowi) resmi dilantik jadi Presiden periode 2019-2024. Perjalanan pemerintahan Jokowi-Ma'ruf diprediksi tidak akan sesulit periode pertama. Sebab, partai-partai oposisi yang fungsinya sebagai penyeimbang pemerintah di Parlemen, sudah bergabung ke dalam koalisi Jokowi-Ma'ruf.

Komposisi pimpinan DPR juga di dominasi oleh partai pengusung Jokowi-Ma'ruf, begitu juga dengan pimpinan MPR. Meski menerapkan unsur keterwakilan dari semua unsur fraksi partai politik di DPR dan kelompok DPD, jumlah partai pengusung Jokowi jauh lebih banyak di kursi pimpinan MPR.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus menilai, situasi ini akan menguntungkan untuk pemerintah Jokowi di periode kedua ini.

"Iya bisa jadi minim musuh, tujuannya seperti itu. Namun, benar atau tidak seperti itu saya kira masih perlu melihat buktinya nanti," katanya, kepada era.id, di Jakarta, Senin (21/10/2019).

Rival Jokowi di Pemilu 2019, Partai Gerindra dan Partai Demokrat, dikabarkan bergabung dengan koalisi pemerintah. Dua partai ini merupakan pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang jadi musuh Jokowi-Ma'ruf di Pemilu 2019.

Informasi bergabungnya mereka ke koalisi pemerintah berkembang setelah ada pertemuan antara elite partai tersebut dengan Jokowi. Pertemuan ini pula yang mengisyaratkan partai-partai tadi dapat jatah menteri dan masuk ke koalisi Jokowi-Ma'ruf.

Rumor tersebut diperkuat dengan pernyataan Tenaga Ahli Kantor Staf Kepresidenan, Ali Mochtar Ngabalin yang mengatakan Partai Gerindra dan Partai Demokrat masuk ke Kabinet Kerja Jilid II Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Namun, belum diketahui berapa jatah kursi untuk kedua partai tersebut.

Belakangan, PAN juga disebut-sebut akan menjadi koalisi Jokowi. Meski, belum ada pernyataan resmi dari partai yang dipimpin Zulkifli Hasan ini.

Melihat dinamika ini, Lucius menilai, partai-partai ini tetap bisa juga menyerang Jokowi di kemudian hari. Sebab, politik sifatnya sangat dinamis. "Bisa jadi musuh juga seketika," kata Lucius.

Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2024, Jokowi dan Ma'ruf Amin (Foto: setkab.go.id)

Sebab, dia mengatakan, meski mereka bergabung dengan pemerintah, mereka punya kepentingan partai yang mesti dijalankan.

"Potensi konflik di dalam koalisi partai-partai itu selalu terbuka. Tujuan Jokowi merekrut banyak partai, ketika dia menghadapi konflik antar partai-partai itu pada kebijakan-kebijakan tertentu, dia kemudian lebih punya pilihan mendapatkan dukungan-dukungan dari partai-partai tertentu," katanya.

Dengan menambahkan partai musuh ke dalam koalisinya, menurut Lucius, Jokowi jadi punya keuntungan dan tantangan masing-masing. Keuntungannya, koalisi pemerintah jadi kuat, tapi tantantangannya kebijakan Jokowi sangat mungkin tak satu suara.

"Tantangan ini kan bisa dijawab dengan kompromi-kompromi. Ini yang bahaya kalau kompromi itu selalu berisi transaksi kepentingan. Tukar guling kepentingan itu selalu terjadi dengan banyaknya kepentingan partai di dalam," katanya.

PKS tak sepenuhnya oposisi

Dari semua partai yang ada di parlemen, tinggal PKS sendirian yang tak diajak bergabung dengan koalisi pemerintah. Mereka bahkan menyatakan akan menjadi oposisi kritis untuk pemerintah, meski sendirian. PKS akan berfungsi sebagai checks and balances di parlemen.

Pada Pemilu 2019, PKS bersama Partai Gerindra, PAN, dan Partai Demokrat mendukung Prabowo-Sandi. Bila tiga temannya bergabung bersama Jokowi, artinya PKS akan sendirian.

Namun, Lucius menilai, posisi PKS tidak 100 persen jadi oposisi. Hal ini, kata dia, dapat dilihat dari beberapa isu yang PKS memiliki persamaan dengan partai yang lain, yaitu amandemen UUD 1945 dan Revisi UU MD3.

"Karena kalau dia punya sikap oposisi 100, dia punya sikap yang berbeda saat menyikapi isu tersebut. Apalagi publik juga jadi bagian yang menolak revisi dan amandemen. Dia justru menyatakan mendukung, di saat yang sama PKS juga mengatakan dia oposisi," ucapnya.

Menurut Lucius, oposisi atau tidak oposisi ini bukan ditentukan lagi oleh sikap partai. Melainkan, dilihat dari dapat atau tidak dapat kursi dalam kabinet kerja Jokowi jilid II.

"Sebagai oposisi pun saya kira PKS tidak cukup kuat. Bukan hanya dari jumlah kursi yang lebih sedikit dari jumlah koalisi pemerintah. Di saat sama dia juga terjebak dalam kompromi-kompromi. Karena itu bisa jadi kompromi ini meluluhkan PKS ini," ucapnya.

Gedung Parlemen di kala malam (Anto/era.id)

Rekomendasi