Berkunjung ke Pusat Seni Keramik Jatiwangi

| 26 Oct 2019 17:55
Berkunjung ke Pusat Seni Keramik Jatiwangi
Pelajar saat ikut perhelatan festival musik kermik Jatiwangi (Iman Herdiana/era.id)
Bandung, era.id - Bagi masyarakat Jatiwangi, tanah bukanlah benda mati. Tanah bisa dibikin jadi genting yang menutup atap rumah di berbagai kota-kota di Indonesia atau jadi karya seni bernilai tinggi.

Di kecamatan yang terletak di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, itu, terdapat Jatiwangi Art Factory (JAF), sebuah gerakan seni masyarakat yang menginterpretasikan tanah liat dengan kacamata seni.

JAF banyak menggelar berbagai kegiatan seni, mulai festival musik keramik, dan sejak 2012 bercita-cita menjadikan Jatiwangi sebagai Jatiwangi Terracotta City.  

Acara terbaru, JAF menjadi kurator Indonesia Contemporary Ceramics Biennale (ICCB)#5 yang melibatkan seniman dari 10 negara. JAF menugaskan para seniman yang terlibat bukan hanya mengeksplorasi tanah menjadi sebuah karya seni, tetapi mereka diterjunkan langsung ke tempat-tempat pembuatan genting rumah yang disebut jebor (prabrik genting tradisional).

Saat ini, Jatiwangi menghadapi masifnya pembangunan industri tekstil, garmen dan lainnya. Maraknya industri otomatis merubah pola pikir warganya untuk ‘memilih’ bekerja di industri ketimbang jadi perajin genting.

Di saat yang bersamaan, warga Jatiwangi juga menghadapi berkurangnya tanah sebagai bahan baku pembuatan genteng. Jumlah jebor di Jatiwangi yang masih bertahan lebih kurang 150 Jebor. Mereka terancam regenerasi.

Kurator ICCB Arief Yudi Rahman mengatakan, lewat acara ini, para seniman mencoba bereksperimentasi dengan gagasan bagaimana wacana seni keramik atau pengolahan tanah. Sehingga, seni keramik tidak hanya menemukan konteksnya pada wacana seni rupa, namun juga dapat kembali ke posisinya di tengah masyarakat.

“Dan membuka peluang eksplorasi selebar mungkin dalam konteks seni rupa dan arsitektural untuk merumuskan ekosistem baru dari pengolahan tanah liat yang sudah berlangsung di Jatiwangi,” kata, Arief Yudi Rahman dalam keterangan resmi yang diterima era.id, Sabtu (26/10/2019).

Para seniman dimagangkan di komunitas pembuat genteng yang memiliki identitas pengelola tanah, beserta dengan keunggulan dan permasalahan yang ada di wilayah tersebut, untuk menghasilkan kemungkinan lain yang berasal dari tanah. Bukan hanya tanah sebagai benda.

“ICCB#5 sebagai salah satu tools yang saling menumbuhkan satu sama lain dengan empat konsep besar yaitu, riset, regulasi, produk dan embassy. Riset yang dilakukan adalah kembali mendefinisikan apa saja permasalahan, keunggulan, dan kemungkinan apa saja yang bisa dilakukan dan dibuat,” terang Arief yang juga pendiri JAF.

Dari sisi regulasi, konsep tersebut mendapatkan perhatian besar dari Pemerintahan Kabupaten Majalengka maupun Pemerintahan Provinsi Jawa Barat. Saat ini, Pemerintah Kabupaten Majalengka sudah menerbitkan regulasi RTRW (Rancangan Tata Ruang Wilayah) 30 persen bangunan dinas setempat di Majalengka harus menggunakan desain terakota (tanah liat) pada setiap gerbang dinasnya.

Sedangkan dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat adalah membuat program renovasi Alun-Alun Kabupaten Majalengka dengan desain terakota yang saat ini sedang dalam pengerjaan.

Kemudian dari sisi produk, Arief Yudi Rahman bilang, seniman yang terlibat memberikan perspektif lain terhadap bentuk yang dibuat dari bahan baku tanah yang dikemas menjadi embassy, yang akan mengaktifasi Jebor-jebor di Jatiwangi untuk menjadi studio sebagai ruang riset dan titik penghubung antara warga, jebor, seniman dari setiap negara yang   terlibat ICCB#5.  

“Tentu saja identitas Jatiwangi sebagai wilayah yang memiliki identitas pengolah tanah menjadi genting, tidak dihilangkan untuk mencari kemungkinan lain membuat bentuk baru yang dapat dibuat dari tanah.”

Bukan hanya genting dan juga bukan hanya diversifikasi produk baik berbentuk seni keamik (tegel, ubin, bata, dan lainnya), melainkan lebih jauh dari itu adalah membangun pola ekosistem baru baik pola mental, tafsir dan penghayatan juga kesepakatan membangun peradaban tanah sebagai wilayah Kota Terakota dengan cara perspektif ke depan.

Pameran ICCB akan memperlihatkan hasil dari semua proses riset yang sudah dilakukan oleh JAF sebagai kurator dari Program ICCB #5 dan juga semua proses seniman, arsitek, pemerintah, komunitas-komunitas di Jatiwangi dan sekitarnya yang sudah berproses dan bekerja sama dalam ICCB #5.

Karya yang dipamerkan meliputi catatan-catatan hasil pertemuan dengan berbagai pihak untuk mewujudkan Jatiwangi Terracotta City, hasil-hasil uji coba tanah yang dibuat menjadi karya seni keramik, dokumen regulasi dan tur karya yang ditempatkan beberapa titik di wilayah Jatiwangi.

“Jatiwangi sedang membangun kota yang diisi oleh warga. Bukan membangun sebuah kota tanpa keterlibatan warganya,” katanya.

Menurutnya, warga sebuah wilayah harus turut menentukan perkembangan dan masa depan tempat tinggalnya dengan bersandar pada tradisi kultural dan material yang sebenarnya telah mereka hidupi bertahun-tahun lamanya.

Pameran ICCB dibuka Minggu 27 Oktober 2019 dan akan berlangsung hingga 27 November 2019. Selain pameran, juga akan dilaksanakan Simposium ICCB-Ceramic For The Real World yang Menjadi rangkaian program ICCB#5. Detail acara Simposium Terlampir beserta video proses ICCB#5.

Tags : seni tari umkm
Rekomendasi