Pasalnya, pengangkatan Iriawan dan Martuani ke kursi pimpinan daerah dianggap mencederai semangat reformasi yang menjunjung tinggi netralitas aparat sekaligus mengingkari amanat reformasi untuk menghapuskan dwifungsi aparat, baik Polri maupun TNI.
Menanggapi itu, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahjo Kumolo mengaku yakin, tak ada norma ataupun aturan yang dilanggar. Bahkan menurutnya, penunjukan dua nama itu telah didasari oleh kekuatan Pasal 201 Ayat 10 Undang-undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016.
"Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat Pj Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan UU yang berlaku," tutur Tjahjo beberapa waktu lalu.
Senada dengan Tjahjo, Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, Soni Sumarsono mengatakan bahwa penunjukan Iriawan dan Martuani bersifat usulan yang diajukan kepada presiden. Soal keputusannya, tetap jadi kewenangan presiden.
Kurang orang di Kemendagri
Sumarsono mengatakan, kebutuhan untuk mengisi posisi sebagai pelaksana tugas pemimpin daerah sangat tinggi, terutama jelang pilkada, dimana banyak kekosongan kekuasaan akibat dinamika pilkada.
"Kebutuhan plt banyak, enggak mungkin semua dari Mendagri. Jadi bebannya dipukul rata ke beberapa instansi yang terkait, terutama kepolisian dan Menko Polhukam. Kalau TNI kan pertahanan, akan diwakilkan Menko Polhukam," ungkap Sumarsono.
Pada Pilkada 2018 ini, sebanyak 171 daerah --yang terdiri atas 17 provinsi-- 39 kota dan 115 kabupaten akan menyelenggarakan Pilkada serentak pada tanggal 27 Juni 2018, termasuk Jawa Barat dan Sumatera Utara, daerah yang disebut-sebut akan dipegang oleh Iriawan dan Martuani.
Iriawan disebut-sebut akan mengambil posisi Ahmad Heryawan yang akan habis masa jabatannya di Jawa Barat pada 13 Juni 2018, sedang Martuani akan menggantikan Tengku Erry Nuradi yang selesai di Sumatera Utara per 17 Juni 2018.
Potensi pelanggaran
Sementara itu, Pusat Studi Hukum Tata Negara (PSHTN) Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) meminta Kemendagri tidak gegabah memajukan sosok aparat sebagai Pj.
"Agar semangat dan amanat reformasi dapat terjaga, maka dwifungsi polri seharusnya tidak dibiarkan terjadi. PSHTN meminta pemerintah, dalam hal ini Kemendagri untuk mengkaji kembali. Lagipula ada beberapa aturan yang berbenturan dengan dasar hukum penunjukan ini," kata Mustafa Fakhri, Ketua PSHTN FHUI dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (27/1/2018).